September 2019 menaruh perhatian lebih dalam daftar kebahagiaan seorang @igenaya . Di bulan dan tahun sama, dua gelar direkatkan. S-two Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Makassar dan S-tri @qaqadrii di Universitas Kehidupan yang InsyaAllah jauh lebih baik kedepan (aamiin). Dalam sejarah kami, tak ada honeymoon pun honeystar. Sebab, dalam hitungan jari tangan, beberapa hari harus kembali memulai tanggungjawab di Universitas. Mengejar kelas yang tertinggal, (mengajar) harus kembali kutunaikan. Sekilas, kisah kami terdengar sangat membahagiakan, namun (pada kenyataannya) terlihat sedikit menyedihkan. 5 hari setelah akad, suami mendapati kabar penempatan kerja (jauh) dari kota lahir.
Katanya, mulai tanggal 10 ngantor perdana di Kantor pusat, Jakarta Selatan. Artinya, kudu harus persiapan pindahan dan istri mesti ditinggalkan (kewajiban kerja masing-masing kudu dituntaskan). Seketika. Detik itu juga, dada seperti diikat sesak. Air mata mengetuk tapi dibiarkan tertahan. Ku elus dada perlahan, meyakinkan diri dan merawat sabar hingga Tuhan beri jalan untuk kembali dipersatukan.
Hari itu juga. Mendampingi suami ke Bandara dan melanjutkan jam ngajar yang tertunda. Sepulangnya, ku biarkan air mata tertumpah ruah. Ku kunci toilet dan kunyalakan keran air biar derasnya mengalir bersamaan. Bismillahirrohmanirrohim. Ku pasrahkan pada Tuhan. Kebaikan yang (kami) jemput InsyaAllah menjemput kami pada kebaikan pula. Hari-hari tua semakin melelahkan. Energi yang biasanya diporsir aktivitas penuh, kini serasa berkurang. Sempat diantar jemput suami, lalu kembali menunggang sepeda motor sendiri.
Sejak itu kusimpulkan, mending Long Distance Relationship yang tegarnya level sedang, sedangkan Long Distance Marriage yang tegarnya kudu kebangetan.
Alhamdulillah. Hari ini, hari pertama menyempatkan diri mendampingi suami di perantauan. Terima kasih untuk buah sabar yang Tuhan jatuhkan untuk kami syukuri makna pertemuan.
Dengan dua perkara yang Tuhan hadapkan; LDR (Sebelum nikah) dan LDM (setelah nikah). LDR mengajarkan satu teori kesabaran yang begitu meyakinkan; distance means nothing when someone means everything. Namun kali ini saat LDM, saya membantahnya sendiri.
Tunjukkan padaku jika kau temukan jenis pengguna sosial media yang memposting kesedihannya lewat akun yang ia punya. Memajang foto dengan air muka yang menumpahkan kesedihan dan air mata. Terlebih hubungan mereka, suami-istri misalnya. Tentu senyumnya merekah dengan tarikan senyum minim satu senti kiri dan satu senti kanan. Kalaupun tak merekah, setidaknya ia pasang senyum terbaik yang ia punya. Pertanyaannya tentu; MENGAPA?
Jika pertanyaan itu dilontarkan tepat untuk pemilik akun ini, sekaligus mewakili pemilik senyum-senyum terbaik instagramable yang bertingkah sama, maka jawabannya adalah KARENA TAK SEMUA ORANG BUTUH DERITA KITA. TAK SEMUA ORANG MAU TAHU KESEDIHAN KITA. YANG ORANG TAHU, KITA BAHAGIA. Jika yang tidak ingin oranglain tahu malah kita beritahu, lantas bukankah ini yang dinamakan sebuah tindakan sia-sia? Yasudah, kita share kebaikan dan kebahagiaan saja, selebihnya saling mendo'a semoga rasa syukur dan keberkahan terus menyelimuti kita.
Komentar