"Dulu, paling ngga suka sama makanan khas Makassar satu ini. Tapi sekarang dunia terbalik, malah jadi doyan banget." . .
Saya benar-benar telah belajar dari kebencian saya terhadap coto. Memang benar bahwa tak baik terlalu membenci sesuatu, sebab tak bisa dipungkiri bahwa kita akan berbalik menyukainya.
Masih terngiang jelas. Ketika itu, saya dan teman se-komunitas melakukan perjalanan lintas kabupaten, untuk sampai ke tujuan pun kami mendapati perut meraung-raung. Melihat tulisan terpampang di papan kayu depan warung "Mie Pangsit - Bakso" Kami pun tak pikir panjang dan menjeda perjalanan.
Semuanya lahap. Tapi saya masih berurusan dengan indera pengecap. Saya tak menyangka, mie pangsit bakso yang saya pesan seperti kuah coto. Ini menyebalkan. Tak tanggung-tanggung saya berusaha menyembunyikan rasa tak nyaman, tapi tetap saja. Saya muntah di depan warung itu. Oh, God! Maafkan saya.
Namun, situasi lain menyapa berbeda. Saya ditempatkan di Kabupaten Jeneponto pada Program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Pusatnya coto asli dengan daging khas, kuda. Awalnya pun saya tak menyangka akan mengabdi disana, tapi takdir tak pernah disangka. Hampir setiap hari ada ajakan warga, dan jarang tak diajak makan. Pasti disuguhkan makanan. Tentu saja, ada gantala jarang (Makanan khas Kab. Jeneponto) dan coto kuda juga. Saya tidak suka daging kuda, tidak suka. Bahkan ditawarkan beberapa kali saya tetap tidak mau. Hingga satu moment bapak posko saya yang begitu ramah membawa beberapa tusuk sate, saya pun kegirangan. Saya habiskan dua tusuk sate dengan potongan daging besar itu tanpa bertanya dulu. Sial, saya baru saja menelan daging kuda lantaran tak tahu sama sekali. Tapi, tak ada yang terjadi setelah itu bahkan saya mulai membiasakan diri dengan suguhan daging kuda, juga coto khas daerah itu. Tak perlu canggung, apalagi membuat kesan tak nyaman pada tuan rumah.
Artinya, kita tidak boleh membenci sesuatu sedang kita belum tahu apa itu buruk untuk kita atau baik untuk kita. Sebab bisa saja apa yg kita anggap baik, malah sebaliknya. Membenci sewajarnya dan menyukailah sewajarnya.
Saya benar-benar telah belajar dari kebencian saya terhadap coto. Memang benar bahwa tak baik terlalu membenci sesuatu, sebab tak bisa dipungkiri bahwa kita akan berbalik menyukainya.
Masih terngiang jelas. Ketika itu, saya dan teman se-komunitas melakukan perjalanan lintas kabupaten, untuk sampai ke tujuan pun kami mendapati perut meraung-raung. Melihat tulisan terpampang di papan kayu depan warung "Mie Pangsit - Bakso" Kami pun tak pikir panjang dan menjeda perjalanan.
Semuanya lahap. Tapi saya masih berurusan dengan indera pengecap. Saya tak menyangka, mie pangsit bakso yang saya pesan seperti kuah coto. Ini menyebalkan. Tak tanggung-tanggung saya berusaha menyembunyikan rasa tak nyaman, tapi tetap saja. Saya muntah di depan warung itu. Oh, God! Maafkan saya.
Namun, situasi lain menyapa berbeda. Saya ditempatkan di Kabupaten Jeneponto pada Program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Pusatnya coto asli dengan daging khas, kuda. Awalnya pun saya tak menyangka akan mengabdi disana, tapi takdir tak pernah disangka. Hampir setiap hari ada ajakan warga, dan jarang tak diajak makan. Pasti disuguhkan makanan. Tentu saja, ada gantala jarang (Makanan khas Kab. Jeneponto) dan coto kuda juga. Saya tidak suka daging kuda, tidak suka. Bahkan ditawarkan beberapa kali saya tetap tidak mau. Hingga satu moment bapak posko saya yang begitu ramah membawa beberapa tusuk sate, saya pun kegirangan. Saya habiskan dua tusuk sate dengan potongan daging besar itu tanpa bertanya dulu. Sial, saya baru saja menelan daging kuda lantaran tak tahu sama sekali. Tapi, tak ada yang terjadi setelah itu bahkan saya mulai membiasakan diri dengan suguhan daging kuda, juga coto khas daerah itu. Tak perlu canggung, apalagi membuat kesan tak nyaman pada tuan rumah.
Artinya, kita tidak boleh membenci sesuatu sedang kita belum tahu apa itu buruk untuk kita atau baik untuk kita. Sebab bisa saja apa yg kita anggap baik, malah sebaliknya. Membenci sewajarnya dan menyukailah sewajarnya.
Komentar