Langsung ke konten utama

Tak Perlu Ada Iri Diantara Kita

 

Hal yang paling melekat dalam diri manusia dan tak bisa lepas adalah rasa ingin lebih atau rasa tak puas diri. Sebenarnya hal ini bisa saja positif, namun tak banyak yang sanggup mengontrol ini dengan baik. Karena sejatinya, merasa puas itu tak baik jika porsinya terlalu. Mengapa? karena terlalu cepat puas menghadirkan energi negatif bagi diri sendiri; (1) merasa terlena dan tak ingin lagi melakukan hal lain, jatohnya malas, (2) menjadi bangga diri, memuji diri, besar kepala dan sedikit saja akan menampakkan kesombongan (3) tertinggal langkah yang lain, hingga usaha kita banyak terlampaui oranglain yang pada akhirnya melahirkan rasa iri di dalam hati (4) Menutup kesempatan untuk lebih mengembangkan potensi diri, sebab merasa cukup bisa saja membuat kita tidak bisa merambah ke bidang yang lain. Naudzubillah mindzalik. Meski kita pun sama-sama paham bahwa rasa puas pun dibutuhkan untuk mengucap syukur atas apa yang Allah beri, pun bagian dari usaha berterima kasih pada diri sendiri atas usaha-usaha yang melahirkan pencapaian bagi diri sendiri. Hanya saja, penting untuk kita kembali bercermin apakah porsinya pas atau berlebih, sebab sedikit saja akan menuai keburukan bagi diri, lalu terus mencari kejelekan-kejelekan dan menaruh kesalahan-kesalahan pada oranglain. Ini sangat sering terjadi. Oleh itu, selalu saya katakan pada diri sendiri:

Change Your Thinking, change your life!

Satu perspektif ini seperti angin segar tersendiri, juga banyak mengubah tatanan hidup saya pribadi. Tentu tak pernah lepas dari persoalan apa yang pernah Allah hadapkan dan bagaimana saya belajar dari orang-orang yang pernah keliru, lalu berhasil mengambil pelajaran dari kesalahan oranglain. Tak apa, setidaknya kita bisa belajar kehati-hatian darinya. Dari sini kita paham bahwa cara menata pikiran kita lah tolok ukur utama dari ragam jenis penyakit hati yang bermunculan, termasuk menganggap keberhasilan oranglain sebagai ajang kompetisi. Alih-alih tak mau kalah, tak mau berhenti mencari kekurangan-kekurangan oranglain. Sedang kita lupa bahwa kita tak perlu menjatuhkan oranglain untuk maju dan melampaui, dan naiklah ke anak tangga kehidupan selanjutnya tanpa menjatuhkan oranglain. Merendahkan oranglain agar dilihat tinggi dari yang lain? Tentu saja tak akan mengangkat derajatmu di mata penciptamu. Melontarkan kata-kata tak pantas bagi oranglain, untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan oranglain. Secara tidak langsung menunjukkan bahwa ialah pemilik kosa kata - kosa kata yang berhasil diloloskan lidahnya. Sedang yang dinilai buruklah yang berhasil menyabet penilaian derajat mulia di mata Tuhan-Nya. Maka mari menjaga lisan kita, karena lisan kita bisa jadi sumber perkara-perkara hati bagi oranglain, terlebih bagi diri kita sendiri. Senantiasa memperbanyak istigfar lalu bercermin atas pencapaian apa yang kita miliki hari ini tentu adalah sesuai jatah porsi dari usaha kita hingga detik ini. Tahan lidah kita untuk tidak meloloskan kata-kata menyakitkan bagi oranglain.

Jaga lidahmu, jangan biarkan ia meloloskan kata yang menyentuh ranah kekurangan oranglain. Penting untuk kita ingat, kamu juga punya kekurangan dan oranglain juga punya lidah. Itu saja!

Apa pernah, kita mencoba berkaca dari apa yang menimpa diri sendiri sebenarnya adalah bagian dari perlakuan-perlakuan kita sendiri. Jangan terlalu fokus mencari kejelekan-kejelakan, tentu saja takkan menampakkan diri kita jauh lebih baik. Merenung sejenak sebelum menilai kekurangan maupun kesalahan oranglain. Boleh jadi, yang berhasil digambarkan adalah gambaran diri sendiri. Tengok sebentar isi hati dan pandai-pandai melihat takaran kebaikan kita hari ini. Apakah telah sesuai porsi usaha kita memperbaiki diri atau masih saja sibuk menilai yang lain? Boleh jadi pencapaian kita berhenti dititik yang sama, karena terlalu merendahkan yang lain. Beranjak dari kebiasaan mencari titik rendah oranglain. Tata lah hidup dan rasakan bagaimana ketulusan kita patut dihargai. Jangan fokus pada keburukan saja dan mengubur kebaikan-kebaikan yang ada. Disitu, wujud janji Allah akan semakin nyata. Tak ada yang sulit selama kita mau berusaha dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Jika 3 keutamaan ini sudah kita lakukan, lantas mengapa masih tidak bersyukur? "Manjadda wa jadda"  yang selalu teriyang-iyang ditelinga namun tak sanggup kita ilhami dan praktikkan dalam kehidupan nyata. Malu lah dengan penganut non-islam sana yang tak begitu tahu satu penggal kalimat islami ini, namun sangat mengilhami dalam kehidupannya sehari-hari. "There is a will, there is away" bukankah itu arti kata demi kata yang sama dari yang kita pahami bahwa siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil. Lantas, kenapa berkecil hati dan menciptakan penyakit hati? Semoga kita tak terjangkiti penyakit ini, penyakit pikiran yang merambak dan menguasai lisan dan hati. Berujung menjadikan kita merasa tak cukup akan nikmat yang Allah beri. Jika pernah mengalami maka mari sama-sama beristigfar kian kali. Boleh jadi, kita dikuasai roh jahat yang merusak kemurnian jiwa. Naudzubillah mindzalik. Jika kita telah sadar akan ini, setidaknya kita mampu menyalahkan diri sendiri dan jangan pernah menyalahkan iblis, karena berkat mereka pula kita paham dan mampu mengukur level iman. Jadi, salahkan diri sendiri dan sadari bahwa saya adalah pendosa. Kita semua pendosa.

Pernah suatu waktu, seseorang menyapa dan menanyakan banyak hal tentang bagaimana saya bisa menuntaskan satu pencapaian dan memunculkan pencapian baru. Mungkin di kepalanya, saya adalah orang paling beruntung yang dihadiahi Allah kesuksesan yang beruntun. Percakapan ini tentu mengubah suasana hati dan memperkeru kenyataan yang saya sapa. Tentu saja ini jauh dari apa yang ia sangka, sebab segala yang saya miliki adalah bukan milik saya pribadi, segala yang saya raih tidak serta merta datang sendiri. Ia hadir setelah usaha yang mumpuni, mengorbankan istirahat yang tak tercukupi, doa-doa yang mustajab dari orang-orang terdekat. Namun lagi dan lagi urusan keberhasilan Tuhan yang tentukan. Pun pernah seorang berkata seolah memperdengarkan ke antena telinga: "Udendee.. apatommo guna-gunana tinggi sikolayya na tena tonja wassele'na. Tena tonja PNS, tena tonja nicinik gajina. Bajikangngang kusakring tassikolaa punna kamma." Bukankah kata-kata seperti ini seperti meremehkan kegigihan oranglain? Seluwes itu kata-kata terlontar, bahkan semakin bercabang kata-kata menusuk seperti ujung tombak namun tak tepat sasaran. Kata-kata ini seperti racikan-racikan racun paling mujarab bagi yang lupa hakikat manusia. Menjadikan pikiran-pikirannya adalah hal yang paling benar, lalu menganggap diri paling hebat dengan mampu menarik kesimpulan sendiri, lalu memengaruhi oranglain. Semoga pribadi ini tak melekat dalam diri kita. Jika pernah, semoga kita telah berbenah diri dan tak mengulang lagi, sebab mendapati kekurangan oranglain takkan menampakkan kita telah sempurna.

Bismillah.. sedikit bercerita. Pernah sekali, saya begitu menginginkan atau mendambakan atmosfer belajar seperti yang dirasakan oranglain di sekitar saya. Di masa kuliah, masa-masa mengenyam studi strata satu. Saya dikelilingi orang-orang hebat dengan keberuntungannya melanjutkan studi di Luar Negeri. Disini, saya begitu penasaran dengan apa yang mereka pelajari hingga terdengar ideologinya yang berbeda. Tentu saja saya tak berkecil hati, lalu berusaha mencari kekurangan-kekurangan orang untuk mengangkat derajat diri sendiri. Jelas tidak. Namun lebih kepada mencari tahu cara-cara dan jalan-jalan mereka hingga mampu mencapai titik itu. Bertanya, belajar mandiri dan memperbanyak sholawat sebab kita tak pernah tahu, kapan Allah tunjukkan dan beri jalan yang sama bagi kita. Besok atau lusa, semua bergantung dari usaha dan ketentuan Allah. Selama niat sholawat kita jelas, tak mengejar dunia namun mengejar akhirat. Dari situlah, dunia seakan dalam genggaman. Jika Allah menghendaki, tentu mudah saja "Kun fayakun" sesederhana itu kalimat yang menunjukkan kedahsyatan kehendak Allah hingga mampu menjadikan hal yang mustahil menjadi nyata. Tentu kucinya tetap sama; berusaha, bersabar dan tunggu jawaban. Pun jika jawaban Allah tak sesuai harapan kita, coba kroscek lagi. Boleh jadi yang terjadi adalah Allah tak menerimanya langsung, namun menundanya atau menggantinya dengan yang jauh lebih baik untuk kehidupan kita. InsyaAllah... seperti itulah cara paling ampuh bersyukur dan berbaik sangka saya pada Ilah, pencipta alam dan seisinya. Agar tak ada iri, dengki yang mencoba menggeluguti hati dan pikiran kita, sebab pendosa yang merasa dikalahkan oleh pendosa tentu akhirnya pun dosa besar. Ingat! Kita semua ini pendosa. Jadi jangan nambah porsi dosa.

اَللَّهُمَّ اعْصِمْنَا مِنْ شَرِّ اْلفِتَنِ، وَعَافِنَا مِنْ جَمِيْعِ اْلبَلَايَا وَاْلمِحَنِ، وَأَصْلِحْ مِنَّا مَا ظَهَرَ وَمَا بَطَنَ، وَنَقِّ قُلُوْبَنَا مِنَ اْلغِلِّ وَاْلحِقْدِ وَاْلحَسَدِ، وَلاَ تَجْعَلْ عَلَيْنَا تَبِعَةً لَأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ يَا اَرْحَمَ اْلرَّاحِمِيْنَ.

(Allahumma’shimna min syarril fitani wa ‘afina min jami’il balaya wal mihani wa ashlih minna ma dzaharo wama bathona wa naqqi qulubana minal ghilli wal hiqdi wal hasadi wala taj’al ‘alaina tabi’atan li ahadin min kholqika ya arhamar rohimin).

“Ya Allah, jagalah kami dari kejahatan segala fitnah, selamatkanlah kami dari segala bencana dan cobaan, perbaikilah dari kami apa yang lahir dan yang batin, bersihkanlah hati kami dari iri serta dengki. Dan jangan jadikan kami pengikut salah satu dari makhluk-Mu, wahai Zat yang Paling Penyayang di antara semua penyayang,".


Note: Sebagai catatan bagi kita agar tak lirih dalam bershalawat. Shalawat tentu untuk kebaikan kita di akhirat kelak, namun tak menutup kemungkinan menjadi jalan dimudahkannya do'a diijabah. Sah-sah saja menginginkan sesuatu, lalu bershalawat! Asal kita tak tamak menyeret shalawat untuk urusan dunia saja. Siapa sangka, jika tak diberi dunia ternyata Allah persiapkan kebaikan-kebaikan itu di Akhirat kelak. Semua bergantung dari niat. Maka mari sama-sama tata pikiran dan hati kita, jangan sampai lupa keberkahannya. Bershalawatlah dengan mengejar akhirat, maka dunia dalam genggaman. InsyaAllah!

Another sourches >>> https://youtu.be/KQzB1G-qJpw

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Baik

  Memilih milih teman itu boleh. Yang ngga boleh itu, memilih milih berbuat baik ke orang. Kenapa? Karena karaktermu bergantung dengan siapa lingkunganmu. Kalau bergaul dengan orang yang ngga bener, ya kecipratan juga ngga benernya. Kecuali kalau kamu udah bisa mastiin orang disekitarmu adalah orang yang baik. Dan akan memberi pengaruh baik. Atau, kamu udah bener-bener baik untuk menjadi orang yang berpengaruh baik di lingkunganmu. But, who knows? Kita manusia biasa, banyak khilafnya. Jadi, perlu ada batasan. Jangan semua dijadiin temen. Maaf. Saya berani bilang gini karena pengalaman yang mengajarkan. Bahwa ngga semua orang adalah baik dan memberi pengaruh baik untuk kita.  Jadi fokus saja berbuat baik semampunya, dan menjadi lebih baiklah dari hari hari sebelumnya.

Menikah Itu tentang Sebuah Keyakinan!

Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaykum warohmatullahi wabarokatuh. Pembaca. Semoga tulisan ini mendapati kita dalam keadaan baik, niat yang baik dan harapan-harapan hidup yang baik. Kodratnya, kita adalah pendosa dan tak ada satupun yang benar-benar baik diantara kita. Kalaupun ada diantara kita yang terlihat baik, maka yang terlihat hanyalah sebatas usaha kita menjadi lebih baik, bertaubat pada-Nya. Jadi, mari menjadi baik tanpa menganggap diri jauh lebih baik. Yang salah adalah jika kita tak pernah berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ini, terus berkutat pada anggapan yang sama 'langkahku adalah jauh lebih baik' sebab anggapan inilah yang pada akhirnya menyeret kita yang telah baik malah kembali pada cerminan tak baik. Jika kita pernah dibuat terluka oleh satu sayatan, maka biarkan sayatan demi sayatan berikutnya menutupi rasa sakit yang kita tanggung sendiri, seperti itulah pengaruh pikiran membawa kita pada alam di bawah sadar. Belajar untuk memaafkan dan terus m...