Bercerita tentang memaafkan, satu langkah ini begitu sulit bagi sebagian orang, namun lebih menyulitkan lagi jika kita masih saja membiarkan masalah bersemayam di dalam diri kita, bukan? Tentu tak hanya saya, pun masing-masing kita pernah menanggung kesedihan demi kesedihan dalam hidup yang fana. Tentu saja saya tak berani mengatakan ini jika saya sendiri tak pernah melaluinya. Jelas telah banyak kejadian-kejadian yang Allah hadapkan hingga hari ini, hingga seperempat abad lebih umur rata-rata manusia yang dihadiahkan sang pencipta alam dan seisinya. Bukan kali pertama, ini adalah kian kali. Betapa hidup dipenuhi persoalan-persoalan, dikecewakan, dipatahkan hatinya, dibohongi, ditolak, dicemooh, digunjang-ganjingkan, diperlakukan tidak adil yang tentu saja tak ada habisnya untuk diceritakan. Jika ingin bijak melihatnya, tentu kita paham bahwa hidup tanpa persoalan lah yang perlu dipertanyakan. Apakah kita masih hidup atau kita sedang mati suri? Seperti itulah onak duri kehidupan, terdengar mengerikan namun begitu nikmat saat kita paham bahwa Tuhan menjatuhkan masalah sepaket dengan solusi yang disodorkan. Tak pernah masalah dijatuhkan sedang hamba-Nya tak sanggup memikulnya, Allah itu maha pengertian dan perhatian. Hanya saja, Ia tak mengindahkan keluh! Itulah mengapa ia ciptakan sabar, tabah, dan ikhlas dalam dada sebagai obat dari segala jenis resah dan gunda. Pun hingga detik ini, saat jemari ini begitu luwes mengisahkan digit demi digit kisah yang terlewati. Tentu bukan untuk merawat kesedihan atau menunjukkan kelemahan-kelemahan. Setidaknya, ada yang bisa saya bagikan kepada pembaca untuk kita berkaca: Apakah dalam menyikapi persoalan-persoalan dalam hidup, kita telah benar-benar memaafkan atau hanya menyembunyikan kesedihan?
Sedikit mengisahkan tangga kehidupan yang Allah sodorkan dalam kehidupan saya pribadi. Pernah saya begitu menyukai hingga akhirnya terlukai, juga pernah disukai lalu akhirnya melukai, namun semua sembuh seiring waktu yang terlampaui. Asal kita siap memaafkan dan punya tekad untuk tetap bersua. Pelan-pelan kejadian demi kejadian yang bahkan lebih dari sangkaan malah biasa-biasa saja tersikapi, mungkin ini yang disebut terlatih patah hati. Di masa putih abu-abu; sempat seorang lelaki menyodorkan cinta sedang saya tak paham inilah wujud iman yang buta. Kata-katanya terlalu indah, saya lah perempuan yang begitu ia cintai setelah ibunya. Setelah dihadapkan dengan sosok yang lebih indah dimata, malah ia ubah sendiri penilaiannya. Betapa bodohnya saya yang patah se-patah-patahnya hanya degan kata-kata, tentu saya sendiri yang menanggung luka. Juga, kejadian yang sama terjadi di awal masa kuliah. Masa dimana pesan orangtua untuk tidak pacaran ditancapkan di dada. Malah saya salah kaprah, saya lupa bahwa tidak semua orang menyikapi perasaan terhadap kita sama. Pada akhirnya, saya sendiri yang harus menanggung ganjaran sosial, sebab pemeran utama mengikutkan peran lain, pemeran tambahan yang semakin memperkeru keadaan. Suami saya lah satu diantara saksi masa-masa kelam itu. Bahkan merasa terasingkan diantara orang-orang yang awalnya mengenalkan dirinya sendiri. Cemooh, fitnah, hingga anggapan yang tak pantas seperti bertebaran di udara; lu--bang!! Lugu--bangsat, set--(tiiiit)--ang, sund--(tiiiit)--al, dan ragam ucapan kotor mulai dari nama-nama isi kuburan hingga nama-nama isi kebun binatang, semua kena bagian. Meja diobrak abrik- kursi ditendang sana sini- dihadang di jalan- dan ragam ancaman silih berganti. Namun satu yang pasti, ini bersumber dari kata-kata yang terlontar namun tak berterima karena perbedaan sudut pandang. Jika ingin bijak dengan menilik banyak sudut pandang, secara akal sehat, masalah ini harusnya tuntas sekilas. Asal tak mengikutkan pemeran lain dan membabi buta. Pun pernah salahseorang wanita mendekat lalu katakan:
Mentang-mentang cantikko!! Begitukah caranya kasi sakit hatinya orang? Hati-hatiko nah.
Tentu saat itu saya semakin dibuat tak mengerti. Hanya mampu mengelus dada dan mengucap istigfar kian kali. Jika kata-kata ini pujian tentu ini jenis ujian. Jika ini ujian, maka saya terima sebagai bentuk rasa syukur. Artinya, ada hadiah yang Allah siapkan dibalik ini. Meski sejujurnya, saya sedih mendengar pernyataan yang mengikut tanya jenis ini. Sedang saya tidak pernah merasa cantik bahkan berniat menyakiti hati sekalipun. Tetap saja, kali ini saya harus meletakkan sepenuhnya kesalahan pada diri sendiri. Menguatkan anggapan bahwa sayalah yang paling picik yang membiarkan seseorang larut dalam rasa, tak pacaran namun menyukai melebihi dari prasangka. Selanjutnya, menerima semuanya sebagai sangsi sosial dan menikmatinya sebagai proses meningkatkan level iman kesekian kali, meski saya pun paham betul bahwa tingkat keimanan itu tak selalu sama, selalu saja naik turun. Tentu jika saya ingin memendamnya, maka isi kepala saya hanya dibayang-banyangi kejelekan-kejelekan saja. Jatuhnya, menganggap diri jauh lebih baik. Lalu membalasnya dengan lebih banyak keburukan-keburukan? Tentu saja tidak. Astagfirullahaladzim. Qadarulla wa Maa Syaa'a Fa'at.
"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS: An-Nur 22)
Dari kejadian di masa mahasiswa baru inilah cakrawala berpikir saya semakin menumbuh. Saya syukuri sebagai proses pembentuk pola pikir. Bismillah dari sini pula lah kebaikan-kebaikan dalam kehidupan terus berdatangan. Meski awalnya, saya melihat semua teman itu bersahabat, namun kejadian demi kejadian lah yang membuat saya semakin paham. Tentu diantara kita tak ada yang benar-benar baik, namun ada diantara kita yang benar-benar bijak dalam mengambil perannya. Bukan berarti saya menyesal mengenal orang-orang yang pernah hadir di masa lalu. Lebih kepada berterima kasih, telah mengambil peran penting dalam tangga kehidupan saya. Begitu nampak perbedaan dari masalah ini bagaimana diantara kita saat dihadapkan masalah, ada jenis yang amat peduli, sedikit peduli, mengikut-ngikut perasaan oranglain, mementingkan diri sendiri, dan masa bodoh saja. Selanjutnya, lebih banyak mengintrospeksi diri dan mengamati putaran kehidupan dimana orang-orang yang pernah keliru kini mampu mengubah dirinya Jauh lebih baik. Alhamdulillah. Begitulah kehidupan, asal kita mau berbenah diri. Semoga kita semua mampu menata diri dengan baik demi kehidupan yang jauh lebih baik kedepan. Dari sini, saya dibuat paham oleh perkataan Ali bin Abi Thalib, didukung satu pesan kebaikan yang sejak kecil saya pegang:
"Tunggulah nanti ketika AKU sedang kesulitan, lalu lihatlah berapa orang yang masih SETIA membersamaiku. Itulah SAHABAT sejatiku" (Ali bin Abi Thalib)
Menjadilah baik, meski oranglain tak baik padamu! Jika balasanmu sama, lantas apa letak pembedamu? (Ayah)Memang benar. Di masa-masa sulitlah kita bisa melihat siapa yang benar-benar peduli dan mengesampingkan kekecewaan. Namun, saya sendiri kurang sepakat jika menganggap yang lain tak berpotensi menjadi sahabat di hari esok, sebab hidup ini berjalan terus.. berputar terus.. dan kadang kita di bawah, kadang pula kita diatas. Jika kita menghindar, artinya kehidupan kita telah berhenti untuk oranglain yang kita anggap lirih, sedang ini lah wujud dari merasa diri jauh lebih baik. Sebab, buruk dimata manusia, bukan berarti kita tidak baik di Mata Allah. Pun sebaliknya, seperti itu roda kehidupan berputar terus. Buruk hari ini, belum tentu pula di hari esok.
Astagfirullah.. Saya kah tidakji, asal tidak napukulija :)
![]() |
@Gerakan_Anak_Juang_Merdeka |
Terbukti. Kita memamg hanya perlu berusaha memperbaiki diri dan mengumpulkan energi serta keberanian menyapa kembali dan mengajak dalam kebaikan. Tak pandang siapa yang menyakiti dan tersakiti. Semua ada hadiah dari sang ilahi. Percayalah! Bismillah. Tangga kehidupan berikutnya malah membawa kami saling bergandengan dalam kebaikan-kebaikan. Alhamdulillah. Tentu saja ini menakjubkan!
Kejadian ini juga terjadi baru-baru saja. Kejadiannya tepat di bulan Muharram, sepuluh hari lagi terhitung satu tahun. Momen dimana saya tengah dihadapkan dua perkara; menikah dan wisuda. Lalu menyusul menikah atau ditunda. Alasannya sepele, namun menjalaninya yang sedikit sulit dan semakin hari semakin dibuat sulit. Munculnya satu anggapan dan melahirkan anggapan-anggapan baru. Terkesan sepihak, sedang kenyataan tak demikian. Kebetulan, suami dan adik sepupu mengenyam studi di kampus yang sama dan sama-sama menunggu jadwal wisuda kala itu. Sebagai abdi negara yang berstatuskan tugas belajar dan tengah menunggu penempatan ulang, tentu baginya saat-saat lowong ini lah waktu tepat untuk menyelenggarakan pernikahan. Setelahnya harus siap-siap penempatan kerja kembali yang entah dimana bergantung dari kebijakan negara. Siapa sangka jadwal wisuda muncul bertepatan dengan gedung yang di-booking, kelamaan berpikir dan menunggui kesepakatan pihak keluarga, juga mencari-cari tempat yang sesuai, hingga akhirnya tersisa hanya di tanggal itu. Itupun jika tidak segera, sebentar saja akan disabet yang lain. Ditambah lagi, ayah tak begitu mengindahkan pernikahan ditunda-tunda. Di kepalanya, menunda adalah mendatangkan perkara baru. Meski pada kenyataan sebenarnya, ayah juga memegang teguh hidup ber-musyawarah, karena bergandengan tangan dalam kebaikan lah kunci utama dalam kehidupan. Namun adakah yang menyangka bahwa dua momentum yang sama-sama baiknya ini akan dihadapkan Allah pada waktu yang sama? Tentu saja tidak. Jelas, ini sudah digariskan. Jika membantahnya, tentu yang terjadi adalah melawan kehendak Allah, bukan? Jadi cukuplah masing-masing kita menerima dengan baik apa yang telah ditimpakan.
Referensi: https://almanhaj.or.id/3472-bagaimana-penjelasan-mengenai-allah-menghendaki-sesuatu-sedangkan-dia-tidak-menyukainya.html
Kita boleh merencana, namun Allah lah satu-satunya penentu. Menerima masalah ini dengan baik, maka masalah pula yang membesarkan kita. Jika tak berterima, tentu saja ini pula yang merapuhkan kita. Meski sempat dibuat kecewa karena melihat ibu yang begitu pusing memikirkan ini itu hingga hari H, dan tidak bisa banyak berharap pula untuk dibantu. Saya masih berkutat pada kesibukan yang sama, sedang kakak di perantauan, hanya bisa hadir di hari H. Bahkan, keadaan mengharuskan saya tidak tidur semalaman demi membuat empat puluh porsi pirex kue basah sedang ada upacara mappacci esok hari. Mengherankan, tiba-tiba kemampuan memasak saya begitu mumpuni, berbekal resep di youtube. Hari ini? saya sudah punya akun masak sendiri, Kuliner Ige (Hehee... subscribe ya..). Tentu ini juga hal yang menakjubkan! Alhamdulillah... Meski kian kali saya harus mengelus dada, melihat ibu sempat menitihkan air mata "Semoga lelah ibu hari ini mengantarkan ibu pula ke syurga firdausnya. Allahumma aamiin". Tentu sebuah kesyukuran besar, bisa melihat ayah dan ibu masih lengkap di hari H pernikahan kami. Ini lebih dari cukup. Teramat jelas bahwa inilah alasan paling berharga yang harus menguatkan kita pada jenis masalah-masalah yang dihadapkan Allah hingga hari ini. Juga, mengambil pembelajaran bahwa berkata harusnya di-filter dulu, kita tak pernah tahu cara tangkap antena orang akan sama atau berbeda-beda. Mungkin kala itu, ayah terlalu tajam dalam melontarkan kata-kata pada saudaranya, sedang saya tidak ada dan tak bisa membela apa-apa. Lagi dan lagi, ini persoalan komunikasi.
Mari sama-sama belajar. Menentukan pilihan hidup sendiri dengan menjadi diri sendiri, jangan mudah terbawa emosi, terlebih mengikut-ngikut perasaan oranglain. Sangat terlihat bahwa sekian banyak saudara ayah, sangat sedikit yang berani menunjukkan betapa kepeduliannya lebih besar daripada amarahnya. Meski bagaimanapun kita sama-sama paham bahwa saudara tetaplah saudara bagaimana situasi yang dihadapkannya. Pun bagi saya pribadi: Tak masalah jika hari ini tak banyak yang mendukung kita, semoga saat kita kembali pada sang Pemilik, masih ada orang-orang baik yang sedia mendoakan kita. InsyaAllah.. Mari membuka lembaran baru saja, sesuai doa yang mengawali kehidupan kita di awal Muharram ini:
"Allâhumma antal abadiyyul qadîmul awwal. Wa ‘alâ fadhlikal ‘azhîmi wa karîmi jûdikal mu‘awwal. Hâdzâ ‘âmun jadîdun qad aqbal. As’alukal ‘ishmata fîhi minas syaithâni wa auliyâ’ih, wal ‘auna ‘alâ hâdzihin nafsil ammârati bis sû’I, wal isytighâla bimâ yuqarribunî ilaika zulfâ, yâ dzal jalâli wal ikrâm.
"Tuhanku, Kau yang Abadi, Qadim dan Awal. Atas karunia-Mu yang besar dan kemurahan-Mu yang mulia, Kau menjadi pintu harapan. Tahun baru ini sudah tiba. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis dan para walinya di tahun ini."
Komentar