Sedikit bercerita, bukan sekedar caption saja. (Semoga menjawab pertanyaan teman-teman, beberapa pekan terakhir kami menuju hari H)
Sebenarnya kurang setuju saja jika hubungan kami dianggap terbilang kilat, terhitung cepat mengambil keputusan (menikah). Sebab saya dan @qaqadrii sudah saling kenal sejak lama. Memang jarang mengekspos, karena itulah kami, itulah saya dan itulah calon saya. Kami tak pernah sepakat (jadian) jadi jangan tanya kapan kami (pacaran). EMANG KAPAN KENALAN? KENAPA TIBA-TIBA MAU NIKAH?
Kenalannya udah lama. Kurang lebih 8 tahun lalu, saat mahasiswa baru strata satu. Tapi disitu kami masih biasa saja. Seperti perkenalan pada umumnya, layak mahasiswa baru yang berkenalan dengan teman-teman baru.
TERUS KAPAN PACARANNYA?
Nah, pertanyaan ini yang kami tak sepakat. Kurang mengenakkan di antena telinga dan tak tepat untuk hubungan kami yang tak biasa. Pun tuk sampai dititik ini kami harus melawan ego, bersabar akan jarak, dan terus menyebut nama dalam doa.
KENAPA YAKIN MEMILIH DIA?
Pertanyaan ini seperti memaksa butiran air mata jatuh ke tanah. Saya pun tidak tahu kenapa. Jika ditanya si(abang), jawaban saya selalu saja sama (saya tidak tahu). Sejak awal menyukainya pun saya tidak pernah punya alasan kuat mengakuinya. Terkesan ngambang, bingung, atau apalah(terserah). Intinya, saya tak punya alasan untuk tidak menyukainya. Tapi, dihadapan oranglain; mudah saja, sangat luwes menjawab detail alasan-alasan saya menyukainya.
Pernah sesekali pertanyaan sekaligus pernyataan datang dari si(abang) *Kenapa kita sukaka? Saya nda suka orang bingung.* dan jawaban saya selalu saja *tidak tahu* sejak itu.. gelar pertama saya resmi datang dari si(abang), *ALAY* katanya. Entahlah.. gergetan, gelar itu menyenangkan saat dia yang menyandingkan. Meski awalnya tak berterima, apalagi satu istilah itu terlalu kuat makna negatifnya. Tapi aku suka, karena dia.
Hari berlanjut seperti biasa, hingga kami harus berjarak, bukan berpisah. Ia lolos STAN, dan saya harus bertahan. Bertahan untuk berjuang saat sepi, meraih pencapaian sendiri dan menolak untuk bertepi pada lain hati. Sebab ada hati yang ku jaga untuk dinanti. Meski kenyataan sebenarnya, ada banyak hati yang menyodorkan cinta sejati (tapi tak ada yang berhasil mengganti). Meski ada juga yang menyimpan kesan aneh dan lucu-lucu.
Pernah beberapa kali, diantaranya 2015 lalu jika ingatan saya tak keliru; seorang gadis menghubungi saya via sosial media, pesan singkat yang menanyakan tentang kedekatan saya dengan seseorang (yang sama sekali, namanya saja tidak pernah terdengar di antena telinga ku). Disitu saya baru paham, seseorang yang dimaksud adalah tetangga kelas saya di Fakultas, jurusan Fisika yang diam-diam menaruh rasa hanya karena keseringan berpapasan di jam pulang kuliah, sedang saya tak menyadari hal sederhana saja membuat seseorang menaruh hati, sampai sang mantan kekasih penasaran dan mencari tahu sendiri kebenaran akan kecemburuannya. Benar-benar misteri dan mengajarkan untuk sangat berhati-hati. Untung saja sudah mantan, kalau tidak... saya harus berurusan dengan istilah baru yang disandingkan, menjijikkan dan tak pantas.
Dan menariknya adalah gadis ini sangat sopan menanyakan rasa penasaran itu via c hat. Katanya, hanya ingin memastikan orang baru yang hadir dalam hidup mantan kekasihnya. Tapi sayangnya, yang ia dapati adalah kenyataan bahwa saya tak pernah berkenalan dengan lelaki yang ia sebut-sebut namanya kian kali itu, sebab saya pun tak berniat untuk tahu. Terlebih setelah tahu, ada kegelisahan yang lahir karena papasan kilas saja tanpa perbincangan panjang dan perkenalan yang apik.
2015, di tahun yang sama. Seorang kaka senior di Lembaga tiba-tiba menggembor-gemborkan rasa yang saya sendiri tak paham sejak kapan kami mulai merasa dekat. Sebatas ketua dan bendahara lembag a, kurasa tak lebih, meski pernah ada pernyataan Ia suka dan saya pun mulai suka, tapi tidak ke tahap serius karena lagi-lagi ada hati yang harus saya hargai, juga menghargai hati sendiri untuk tidak mudah berpaling ke lain hati. Sebatas pertemanan, jika ada yang menganggap lebih.. biarlah menjadi urusannya dengan Tuhannya, atau urusan kita dengan Tuhan kita. Sebab rasa yang digemborkan lebih dekat maknanya dengan *nafsu belaka.
Kembali lagi tentang bagaimana kita membawa diri, karena selain menetapkan komitmen untuk satu hati, juga ada hati yang harus dihargai untuk tidak mebaruh hati/rasa yang berlebih. Cukuplah kita sendiri yang menyadari, bahwa kita tak bisa mengatur rasa oranglain terhadap kita, karena ia juga berhak atas rasa yang ia punya. Setidaknya yang bisa kita tepis adalah jarak dan batasan pertemanan untuk tidak menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan rasa ingin memiliki. (Saya belajar bijak dari suatu peristiwa di masa kelam, sebelum benar-benar yakin menetapkan satu hati).
Sejak 2016, saya tetapkan hati benar-benar untuk seseorang yang berani datang menemui ke rumah, menemui orangtua. Meski tak berniat langsung meminang. Namun, ia berhasil meyakinkan orangtua sayabahwa niatnya tulus dan usahanya pasti. Disela aku sendiri masih diambang sebab saat yang sama saya dihadapkan masa sulit, pemberangkatanku ke Austria yang tinggal hitungan jari dan pertimbangan pilihan studi atau kerja setelah kembali.
Sepulang dari program musim panas itu lah, pilihan prioritas dikepala semakin memanaa. Sempat bergejolak dengan pandangan oranglain, juga tentang keinginan yang berusaha ku tepis untuk studi di luar atau menuntaskan studi di negeri sendiri saja. Aaaaahh! Perkara seserhana saja, namun sulit sekali memutuskannya.
Memang benar. Saya pernah ada di titik itu. Mendambakan kuliah di Luar, luar negeri-luar pulau. Tapi kenyataan menyapa tiap orang beda-beda, bukan? Usai studi S1, satu persatu pekerjaan menarik ulur. Aku harus menentukan prinsip hidup sendiri. Sedang masa itu lagi membara-baranya. Baru sedetik saja rasakan nikmatnya short course di Benua Biru, tempat paling romantis yang pernah hadir di hidup gadis sederhana jenis saya.
Bahkan, hampir sebagian penduduk kampus yang mengenal nama Ige, meski lewat media, juga ikut berkomentar kala itu.
Mungkin krn sahabat-sahabat perjuangan sedang semangat-semangatnya struggle studi abroad. Sedang saya sendiri barusaja kembali dari abroad. Tapi langsung masuk kampus kandang sendiri.
Rapuh. Sempat tidak berdaya, serasa tak bernilai apa-apa. Padahal tujuan hidup sudah saya patok untuk terus bernilai. Tapi pandangan orang terus saja berbeda, dari situ saya kudu banyak istigfar dan banyak ucap syukur saja. Sebab yang memilih jalan yang ku tapaki ya saya sendiri bukan oranglain.
Oranglain berkomentar wajar, karena hanya itu yang sanggup mereka lakukan. Mengurusi lebih jauh hidup kita bukan jatahnya. Go on... banyak-banyak bersyukur, bisa jadi apa yang kita lakukan hari ini jauh lebih bernilai dari yang kita dambakan dari oranglain. Pun sebaliknya banyak-banyak istigfar, jangan sampai oranglain yang kita remeh temehkan jauh lebih berharga tiap tarikan nafas dan langkah hidupnya.
Sebenarnya kurang setuju saja jika hubungan kami dianggap terbilang kilat, terhitung cepat mengambil keputusan (menikah). Sebab saya dan @qaqadrii sudah saling kenal sejak lama. Memang jarang mengekspos, karena itulah kami, itulah saya dan itulah calon saya. Kami tak pernah sepakat (jadian) jadi jangan tanya kapan kami (pacaran). EMANG KAPAN KENALAN? KENAPA TIBA-TIBA MAU NIKAH?
Kenalannya udah lama. Kurang lebih 8 tahun lalu, saat mahasiswa baru strata satu. Tapi disitu kami masih biasa saja. Seperti perkenalan pada umumnya, layak mahasiswa baru yang berkenalan dengan teman-teman baru.
TERUS KAPAN PACARANNYA?
Nah, pertanyaan ini yang kami tak sepakat. Kurang mengenakkan di antena telinga dan tak tepat untuk hubungan kami yang tak biasa. Pun tuk sampai dititik ini kami harus melawan ego, bersabar akan jarak, dan terus menyebut nama dalam doa.
KENAPA YAKIN MEMILIH DIA?
Pertanyaan ini seperti memaksa butiran air mata jatuh ke tanah. Saya pun tidak tahu kenapa. Jika ditanya si(abang), jawaban saya selalu saja sama (saya tidak tahu). Sejak awal menyukainya pun saya tidak pernah punya alasan kuat mengakuinya. Terkesan ngambang, bingung, atau apalah(terserah). Intinya, saya tak punya alasan untuk tidak menyukainya. Tapi, dihadapan oranglain; mudah saja, sangat luwes menjawab detail alasan-alasan saya menyukainya.
Pernah sesekali pertanyaan sekaligus pernyataan datang dari si(abang) *Kenapa kita sukaka? Saya nda suka orang bingung.* dan jawaban saya selalu saja *tidak tahu* sejak itu.. gelar pertama saya resmi datang dari si(abang), *ALAY* katanya. Entahlah.. gergetan, gelar itu menyenangkan saat dia yang menyandingkan. Meski awalnya tak berterima, apalagi satu istilah itu terlalu kuat makna negatifnya. Tapi aku suka, karena dia.
Hari berlanjut seperti biasa, hingga kami harus berjarak, bukan berpisah. Ia lolos STAN, dan saya harus bertahan. Bertahan untuk berjuang saat sepi, meraih pencapaian sendiri dan menolak untuk bertepi pada lain hati. Sebab ada hati yang ku jaga untuk dinanti. Meski kenyataan sebenarnya, ada banyak hati yang menyodorkan cinta sejati (tapi tak ada yang berhasil mengganti). Meski ada juga yang menyimpan kesan aneh dan lucu-lucu.
Pernah beberapa kali, diantaranya 2015 lalu jika ingatan saya tak keliru; seorang gadis menghubungi saya via sosial media, pesan singkat yang menanyakan tentang kedekatan saya dengan seseorang (yang sama sekali, namanya saja tidak pernah terdengar di antena telinga ku). Disitu saya baru paham, seseorang yang dimaksud adalah tetangga kelas saya di Fakultas, jurusan Fisika yang diam-diam menaruh rasa hanya karena keseringan berpapasan di jam pulang kuliah, sedang saya tak menyadari hal sederhana saja membuat seseorang menaruh hati, sampai sang mantan kekasih penasaran dan mencari tahu sendiri kebenaran akan kecemburuannya. Benar-benar misteri dan mengajarkan untuk sangat berhati-hati. Untung saja sudah mantan, kalau tidak... saya harus berurusan dengan istilah baru yang disandingkan, menjijikkan dan tak pantas.
Dan menariknya adalah gadis ini sangat sopan menanyakan rasa penasaran itu via c hat. Katanya, hanya ingin memastikan orang baru yang hadir dalam hidup mantan kekasihnya. Tapi sayangnya, yang ia dapati adalah kenyataan bahwa saya tak pernah berkenalan dengan lelaki yang ia sebut-sebut namanya kian kali itu, sebab saya pun tak berniat untuk tahu. Terlebih setelah tahu, ada kegelisahan yang lahir karena papasan kilas saja tanpa perbincangan panjang dan perkenalan yang apik.
2015, di tahun yang sama. Seorang kaka senior di Lembaga tiba-tiba menggembor-gemborkan rasa yang saya sendiri tak paham sejak kapan kami mulai merasa dekat. Sebatas ketua dan bendahara lembag a, kurasa tak lebih, meski pernah ada pernyataan Ia suka dan saya pun mulai suka, tapi tidak ke tahap serius karena lagi-lagi ada hati yang harus saya hargai, juga menghargai hati sendiri untuk tidak mudah berpaling ke lain hati. Sebatas pertemanan, jika ada yang menganggap lebih.. biarlah menjadi urusannya dengan Tuhannya, atau urusan kita dengan Tuhan kita. Sebab rasa yang digemborkan lebih dekat maknanya dengan *nafsu belaka.
Kembali lagi tentang bagaimana kita membawa diri, karena selain menetapkan komitmen untuk satu hati, juga ada hati yang harus dihargai untuk tidak mebaruh hati/rasa yang berlebih. Cukuplah kita sendiri yang menyadari, bahwa kita tak bisa mengatur rasa oranglain terhadap kita, karena ia juga berhak atas rasa yang ia punya. Setidaknya yang bisa kita tepis adalah jarak dan batasan pertemanan untuk tidak menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan rasa ingin memiliki. (Saya belajar bijak dari suatu peristiwa di masa kelam, sebelum benar-benar yakin menetapkan satu hati).
Sejak 2016, saya tetapkan hati benar-benar untuk seseorang yang berani datang menemui ke rumah, menemui orangtua. Meski tak berniat langsung meminang. Namun, ia berhasil meyakinkan orangtua sayabahwa niatnya tulus dan usahanya pasti. Disela aku sendiri masih diambang sebab saat yang sama saya dihadapkan masa sulit, pemberangkatanku ke Austria yang tinggal hitungan jari dan pertimbangan pilihan studi atau kerja setelah kembali.
Sepulang dari program musim panas itu lah, pilihan prioritas dikepala semakin memanaa. Sempat bergejolak dengan pandangan oranglain, juga tentang keinginan yang berusaha ku tepis untuk studi di luar atau menuntaskan studi di negeri sendiri saja. Aaaaahh! Perkara seserhana saja, namun sulit sekali memutuskannya.
Memang benar. Saya pernah ada di titik itu. Mendambakan kuliah di Luar, luar negeri-luar pulau. Tapi kenyataan menyapa tiap orang beda-beda, bukan? Usai studi S1, satu persatu pekerjaan menarik ulur. Aku harus menentukan prinsip hidup sendiri. Sedang masa itu lagi membara-baranya. Baru sedetik saja rasakan nikmatnya short course di Benua Biru, tempat paling romantis yang pernah hadir di hidup gadis sederhana jenis saya.
Bahkan, hampir sebagian penduduk kampus yang mengenal nama Ige, meski lewat media, juga ikut berkomentar kala itu.
BODONYA IGE.. KENAPA MAU STUDI DI UN* PADAHAL BERPOTENSI LANJUT STUDI DI LUAR.
Mungkin krn sahabat-sahabat perjuangan sedang semangat-semangatnya struggle studi abroad. Sedang saya sendiri barusaja kembali dari abroad. Tapi langsung masuk kampus kandang sendiri.
Rapuh. Sempat tidak berdaya, serasa tak bernilai apa-apa. Padahal tujuan hidup sudah saya patok untuk terus bernilai. Tapi pandangan orang terus saja berbeda, dari situ saya kudu banyak istigfar dan banyak ucap syukur saja. Sebab yang memilih jalan yang ku tapaki ya saya sendiri bukan oranglain.
Oranglain berkomentar wajar, karena hanya itu yang sanggup mereka lakukan. Mengurusi lebih jauh hidup kita bukan jatahnya. Go on... banyak-banyak bersyukur, bisa jadi apa yang kita lakukan hari ini jauh lebih bernilai dari yang kita dambakan dari oranglain. Pun sebaliknya banyak-banyak istigfar, jangan sampai oranglain yang kita remeh temehkan jauh lebih berharga tiap tarikan nafas dan langkah hidupnya.
MasyaAllah... bagaimanapun ku kudu sigap menentukan pilihan hidup dan menarik garis peta hidup sendiri.
Komentar