Kita berteman saja, teman tapi mesra.
Itu lirik lagu siapa, saya lupa. Jika boleh, pinjamkan saya untuk gadis yang ku temui di 18 tahun silam ini. Gadis yang memperkenalkan namanya dengan nada lembut di antena, saat pertama kali duduk di bangku es de. Namanya Hartanti, tapi saya lebih nyaman memanggilnya Mega, semenjak saya tahu sapaan itu berlaku di rumahnya.
Saya senang menghabiskan sisa waktu menunggui ayah mengusaikan jadwal mengajar. Sebab, sekolah tempat ayah mengajar hanya berjarak lima langkah dari rumahnya, dekat sekali. Itu sebabnya, makan siang saya hampir setiap hari, tiap kali mampir. Untung saja saya masih kecil masa itu, masih dimaklumi orang dewasa.
Hari ini, saya melihat perubahan yang tak jauh beda darinya. Masih lembut dalam tutur, sopan dalam tindak, perhatian dan masih sering ngajak makan eskrim. Dan satu lagi, masih seperti ibu saya, sering memanggil saya 'Hikmawati'. Untung tidak diikutkan titel juga. Entahlah, sebab ia gadis yang menakjubkan, ketakutan saya bisa saja terjadi.
Mengenalnya adalah sebuah kesyukuran tersendiri. Bertemu, berkenalan, bercerita, bermain, berbagi, berpisah, bertemu kembali, bercerita, bersenda-gurau dan berpisah lagi. Begitu seterusnya, hingga kita paham bahwa pertemuan adalah rindu yang terencana.
Melihat perubahan yang terjadi tiap kali bertemu, sulit dipercaya. Sebab saya masih mencoba menggringnya dalam bayangan kelam, masa suram yang ingin ia buang dalam-dalam. Dimana giginya tak berbentuk karena permen, wajahnya kucel, belum paham apa itu face wash, rambut diikal manja dan ikat sepatunya masih terlepas tanpa diikat nenek.
Pun sebuah kesyukuran bisa menjadi pengamat masa kecil hingga ia beranjak dewasa, pun sebaliknya, bagaimana saya dimasa kecil dulu hingga berani mengejek hari ini 😀 No worries, tetaplah seperti Mega yang ku kenal, gadis ramah nan perhatian. Gadis yang akan membuat saya marah jika suatu saat nanti dipinang lelaki tak tepat.
Komentar