Kali ini tulisan saya terkesan sensitif, namun jika kita sanggup menyikapi dengan kepala dingin, tentu ini terkesan biasa saja. Alasannya, tulisan ini mengandung unsur (keyakinan) yang tak semua orang sama mengilhaminya. Saya menuliskannya sebagai siaran kebaikan, jika dianggap tak baik abaikan. Tulisan ini terpicu karena mendapati postingan salahseorang wanita di Story IG @mmardhiyah_ seorang teman di masa menempuh Strata dua, namun kami baru akrab beberapa tahun terkahir ini. 3 tahun terakhir jika tak salah ingat, terlebih semenjak kami menikah dan merantau, ternyata beliau ditakdirkan Allah pula mengais rezeki bersama suami di Kota Metropolitan, sebagai presenter TVRI Nasional, yang sebelumnya bekerja di stasiun televisi sama namun Regional Sulawesi Selatan, Alhamdulillah Allah angkat lagi derajatnya. Moment mula berkenalan kami tak biasa, dan keakraban kami terbilang menakjubkan. Berawal ketika Allah memberi kesempatan bagi kami duduk manis sebagai Juri di sebuah acara (Event) tahunan ECUINSA sebuah lembaga kebahasaan di Fakultas Adab, Kampus Hijau Indonesia Timur. Kampus tempat kami menuntaskan studi Strata satu, meski di Fakultas yang berbeda. MasyaAllah.
Saya berhasil menuntaskan studi S1 di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, sedang Mar'atun Mardiyah menyelesaikan studi S1 di Fakultas seberang, Adab dan Humaniora dengan Jurusan yang mirip-mirip dengan Departemen saya namun disiplin yang berbeda, dengan pilihan tak biasa pula (Pendidikan Bahasa Inggris dan Pendidikan Agama Islam). Dua hal yang sama-sama ruwet namun berhasil kami tuntaskan dengan baik. Itulah salahsatu sisi mengagumkan dari takdir yang Allah jatuhkan. Hingga akhirnya kami semakin akrab sebab alasan 'betapa banyak jalan hidup yang Allah hadapkan seperti berkaca dari kehidupan Mar'ah'... meski dipoles sedikit berbeda. Studi Strata satunya menuai kekaguman karena berhasil menuntaskan dua Departmen sekaligus S1 Sastra Inggris dan Pendidikan agama di kampus yang berbeda. Sangat jarang orang-orang mampu menyeimbangkan keduanya. MasyaAllah.. Alhamdulillah. Begitupun dengan saya yang mengambil Pendidikan S1 Bahasa Inggris dan dihadiahkan Allah amanah mewakili negara mengikuti Program Kuliah semester pendek (Short Course) Jurusan Perbandingan Agama pada Program Vienna International Christian Islamic Summer University (VICISU) Austria 2016 silam, sesaat sebelum menuntaskan Studi Strata 1.
Vienna International Christian Islamic Summer University (VICISU) adalah program pendidikan di Musim panas (Summer Course) yang bertujuan menyatukan mahasiswa dan professor dari universitas yang tersebar di lima benua. Kegiatan ini merupakan bagian dari "Wina International Christian-Islamic Round Table (VICIROTa), dimana akademisi dari berbagai bidang seperti hukum, teologi, dan ilmu-ilmu sosial, berkumpul membahas isu global. Sedang VICISU sendiri adalah suatu Program yang mengubah cara pandang saya akan agama-agama di dunia dan cara pandang agama lain terhadap Islam. Awalnya, tak begitu yakin menjalankan amanah ini, betapa kekhawatiran (insecure) seketika menggeluguti bahwa saya lah yang Allah amanahi mewakili Indonesia dalam forum agama-agama. Artinya, saya bertanggungjawab atas transfer pemahaman penganut agama lain terhadap agama yang saya yakini bahwa Islam bukanlah agama yang identik dengan kekerasan (violence), seperti pemahaman kebanyakan media yang tak bertanggungjawab. Hanya berbekal latarbelakang penjual buku-buku agama di masa kuliah hingga hari ini, juga ilmu agama yang minim, serta kemampuan bahasa pemersatu dunia yang saya miliki, bismillah kata ayah- yakin saja.
Yang penting mau belajar. Posisikan diri seperti orang paling bodoh! Karena semakin kita tampak bodoh, semakin orang akan luwes membagikan kebenaran apa yang ia tahu. Belajarlah dari kebenaran apa yang orang-orang tahu! (Pesan ayah)
Kata-kata ayah seperti mantra jitu. Secepat kilat mengubah rasa khawatir saya menjadi kepercayaan diri yang luar biasa saat itu. Pun saya paham bahwa saat Allah amanahkan kita hal menakjubkan untuk dilakukan, artinya Allah percaya kita bisa. Harusnya, kepercayaan Allah lah yang menumbuhkan rasa percaya kita terhadap diri sendiri. Bismillahirrohmanirrohim. Sepanjang acara, saya mendapati hal-hal menakjubkan yang mungkin tak semua orang pernah merasakannya, satu diantaranya adalah penarikan kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang menyejukkan, damai dan penuh cinta. Islam
mengingatkan kita akan keberadaan agama lain, jadi jangan pernah saling
menyalahkan. Terlebih mencari kejelekan-kejelekan. Ini juga berlaku
bagi kehidupan, bahwa menjadilah baik tanpa menganggap diri jauh lebih
baik. InsyaAllah.. dengan begitu agama yang kita yakini (Islam) akan
semakin terasa kesempurnaannya.
Memang sulit awalnya, namun berbekal keyakinan menolong agama Allah, maka agama pulalah yang menolong kita. Meyakinkannya sama seperti ketika representatif/ penganut agama lain duduk menikmati suguhan masakan saya tanpa harus khawatir akan teracuni oleh hidangan penganut agama islam macam saya, perwakilan negara yang paling pluralis di dunia dengan aneka ragam agama, budaya, adat, etnis, suku, dan bahasa. Tatanan hidup secara toleran dengan enam agama yang di akui pemerintah (islam, kristen, hindu, budha, katolik dan kong hu chu. MasyaAllah. Semoga keberagaman ini yang menjadikan Indonesia semakin Indah dan penuh toleransi. Memang se krusial itu Islam dipandang agama buruk di dunia, sebuah ancaman di muka bumi. Sedang kenyataan tak begitu. Jika kekhawatirannya akan islam begitu dalam, harusnya ia tak mau mencicipi hidangan yang saya suguhi. Alhamdulillah, acara tuntas dengan kesimpulan yang mendamaikan "bahwa kita pun harus berhati-hati mengkafirkan oranglain, terlebih menganggap agama lain adalah kafir sebab boleh saja kita yang penganut agama Islam sekalipun lah yang kafir karena mengkafirkan penganut lain."
Mana buktinya, Islam itu agama damai dan penuh toleransi?
Sedikit menilik kembali riwayat Nabi Muhammad Sang Pembawa Risalah Islam: Di Mekah, pada masa awal penyebaran ajaran Islam, Nabi menjadi sosok yang paling dibenci oleh para penentangnya. Berkali-kali, tak terhitung jumlahnya, Nabi menjadi target penganiayaan dan pembunuhan. Hasutan dan fitnah kepada Beliau jelas lebih tak terhitung lagi jumlahnya. Salah satu peristiwa yang terkenal dalam peristiwa rencana pembunuhan terhadap Beliau oleh para penentangnya adalah saat malam ketika tempat tidurnya digantikan oleh sahabat setianya, Ali bin Abi Thalib. Pun malam itu para eksekutor rencana pembunuhan Nabi telah berhasil mengepung rumah Beliau. Rasanya tak mungkin beliau dapat lolos. Waktu itulah Sayidina Ali menggantikan tempat tidur Beliau. Sementara Nabi berhasil meloloskan. Para eksekutor tak alang kecewanya ketika mendapati bahwa Ali lah yang berada di tempat tidur tersebut.
Dalam kejadian tersebut ada yang meriwayatkan bahwa
Jibril datang menemui Nabi dan menyampaikan bahwa seandainya Nabi
berkenan, orang-orang atau para eksekutor itu dapat dibinasakan, atas
izin Allah. Nabi, dengan kelembutan hatinya menolak tawaran Malaikat
Jibril. Alih-alih, Beliau mendoakan yang terbaik bagi para eksekutor
tersebut dan agar dibukakan pintu hati mereka. Tak ada kebencian, tak
ada dendam di hati beliau. Penuh cinta kasih. Dari banyak
percobaan pembunuhan kepada beliau, juga atas dasar terancam jiwa para
sahabat beliau, beliau terusir dari kampung halaman kesayangannya,
Makkah. Lalu hijrah ke Yasrib yang kemudian berubah nama menjadi
Madinah. Teramat banyak peristiwa yang menunjukkan
kelemah-lembutan hati dan perilaku Sang Nabi dalam menjalankan
kehidupannya. Sama sekali tak ada kekerasan. Bahkan perang yang dialami
oleh beliau semua atas asas pertahanan; bukan penyerangan, bukan
arogansi, apalagi ekspansi. Tak ada. Jika diantara kita ada yang nampak jelek atau tak baik tindakannya nasehati dengan baik. Jika tak diindahkan kepedulian kita, maka doakanlah! Semoga kisah ini bisa menjadi alasan untuk kita semakin menumbuhkan rasa cinta pada Allah dan Rasul untuk selanjutnya kita ilhami dalam kehidupan kita. InsyaAllah.
“Man ra-a minkum munkaran fa al-yughayyir bi al-yadihi, fa in lam yastathi’ bi al-lisanihi, fa in lam yastathi’ bi al-qalbihi, wa dzalika ad’af al-iman”. Artinya: “Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu/kekuasaanmu (bi yadihi); Jika tidak bisa, tegurlah dengan ucapan (bi lisanihi); Jika (tetap) tidak bisa, cukup dengan mendoakannya (bi qalbihi); dan yang demikian itulah lemahnya iman seseorang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kembali pada kisah kami, Saya dan Mar'ah. Semakin hari kebesaran Allah semakin terasa nyata terhadap kami, dua gadis yang akhirnya menyandang gelar sebagai istri, tentu dengan skenario luar biasa yang Allah hadapkan, termasuk pada momen ini, momen dimana Allah beri kesempatan bagi kami duduk bersama memenuhi undangan sebagai juri di kompetisi Bahasa Inggris tahunan yang terbilang besar di Indonesia Timur. Disini kami menggarisbawahi betapa Skenario yang Allah hadapkan begitu menakjubkan. Kurang lebih dua tahun kami dihadapkan dengan jadwal kuliah yang sama di Kampus Biru starata dua kami, sebab kita sekelas. Namun kami tak pernah begitu akrab di dalam kelas, sebatas menjawab pertanyaan demi pertanyaan di forum diskusi sesekali, itupun jika dosen memberi kesempatan. Mengapa se-awkward itu? Kikuk sekali kedengarannya. Yah, memang terdengar aneh, namun ini hanya gambaran sekilas saja, mungkin boleh jadi akan ada yang menciptakan anggapan baru dengan mengatakan 'Sombong amat!'
Seringkali terjadi. Anggapan-anggapan sebagian orang seperti menuhankan diri sendiri. Tak masalah jika orang-orang menganggap sombong kami yang nampak sibuk dengan diri sendiri, pun hingga terkesan mengejar dunia, asal kenyataan yang kami hadapi tak berhasil membenarkannya. Memang benar, masa kuliah strata dua memang begitu ruwet di kepala, terlebih untuk ukuran mahasiswa yang memilih kuliah sambil bekerja seperti kami, bahkan pagi, siang dan malam tak begitu jelas terasa. Itulah yang terjadi pada kami-kami yang mengambil pilihan hidup dengan menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, juga memenuhi kebutuhan studi di sela tugas kuliah dan tugas kantor yang silih berganti. Jika ada yang keberatan dengan kondisi ini, dengan menganggap ini menggilakan, yasudah tak apa. Semoga harapan baik orang-orang diijabah Allah sebagai bagian dari introspeksi diri dalam menapaki hidup kedepan. Tentu saja niat mencari keberkahanlah disetiap inci langkah hidup yang ditapaki, itulah alasan yang paling menguatkan dan berarti. Tak banyak yang mau mengambil langkah ini, kurang istirahat (tidur) karena harus memorsir energi demi menuntaskan deadline tugas kantor dan tugas kuliah yang sama-sama pentingnya dalam semalaman. Memang menggilakan, bahkan sebagian orang yang keliru akan menganggap kami gila akan dunia semata. Sedang ia tak tahu! Keyakinan kami tentang hal menggilakan ini adalah bentuk dari jihad kami dalam menapaki hidup, InsyaAllah. Jadi tolong, perbaiki persepsi ini. Pun sepanjang proses mengejar ilmu dan mencari penghidupan, hadits inilah yang meneguhkan kami:
"Barang siapa yang kelelahan pada malam hari karena mencari penghidupan halal, terampunilah dosanya!" (HR. Ahmad dan Ibnu Asakir).
"Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang." (HR. Turmudzi)
Seperti itulah perjuangan hidup mengajarkan saya. Tentu, yang bertanggungjawab atas diri sendiri adalah diri sendiri. Kita yang jalani maka kita pula yang nikmati. Jadi, jika ada yang menanggapi negatif, tentu kita harus menerimanya dengan pikiran terbuka dengan menata pikiran kita akan kenyataan yang ada, bahwa jika ada yang menganggapi baik hidup kita, maka tentu akan ada pula yang menanggapi buruk kehidupan kita. Jadi, mari menata hati kita saja! Tak perlu sibuk mengurusi isi kepala oranglain, jika ia menilai kita ini itu. Berprasangka tentang kita ini itu, maka itu juga bukan urusan kita. Kalau kata yang terlontar begitu pedih, maka elus lah dada... Cukuplah kita pandai memaafkan diri sendiri dan memaafkan oranglain. Tetap fokus memperbaiki diri, semoga sangkaan-sangkaan kita terhadap oranglain sebatas bisikan (syaiton) dan tak berhasil menguasai hati, juga pikiran kita. InsyaAllah. Allahumma aamiin.
Kami takjub. Semakin dalam saja kekaguman kami akan Skenario Allah, ketika kabar bahwa di bulan yang sama kami akan menyebar undangan ujian akhir studi Strata dua, sekaligus hadiah sebuah pernikahan dari Allah. Meski ini bukan hal mudah, begitu rumit mengingat kami harus menuntaskan tiga jenis ujian di perguruan tinggi, untuk selanjutnya mengurus pernikahan yang tinggal hitungan hari setelah kami yudisium. Ini situasi paling gila yang pernah Allah hadapkan. Bahkan saya harus menyalakan kian kali keran air untuk meluapkan segala kesedihan dan kegelisahan. Semakin derasnya air, semakin deras pula tangis terpecahkan. Tentu saja, saya tak pernah berburuk sangka pada Allah. Lebih kepada rasa tak sabar menunggu hadiah apa yang Allah ingin berikan pada tangga kehidupan saya selanjutnya?
![]() |
@mmardhyah_ membenarkan pemahaman saya dalam postingannya |
Bulan Muharram menyimpan kenangan hebat tersendiri dalam hidup saya dan suami, juga pasangan Mar'atun Mardiyah dan suaminya. Terlebih dihadapkannya kami dengan dua perjuangan yang sama-sama sulit ini, namun tentu saja patut disyukuri. Menuntaskan studi dan mengurusi pernikahan sendiri. Sangat mirip. Mar'ah berjuang menuntaskan Studi bersamaan dengan berjuangnya saya menuntaskan studi di kampus yang sama. Sedang calon kami, juga sedang berjuang menuntaskan studinya di tempat masing-masing. Calon yang hari ini telah berstatus suami juga calon Mar'ah yang juga telah resmi sebagai pasutri adalah pasangan yang jalan jodohnya juga hampir sama dengan jalan takdir kami. Bedanya, Mar'ah berkenalan dengan suami di masa mondok di Pesantren, meski sebatas teman namun pelan-pelan saling suka. Sedang kami, berkenalan di Kampus hijau dengan status mahasiswa baru pendidikan Bahasa, sekelas pula lalu Allah bentangkan jarak dengan meloloskan salah satu diantara kami pada perguruan tinggi vokasi di lingkungan Kementerian Keuangan, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Padahal kami baru saja saling mengutarakan perasaan. Disini, tak hanya itu kenyataan yang sedikit pahit Allah hadapkan. Namun, banyak rentetan-rentetan ujian yang harus kami tuntaskan, jenisnya pun beragam. Namun, cobaan demi cobaan ini yang membuat kami saling menguatkan dari kejauhan dan meyakinkan pula dalam doa. Yakin, bahwa segala yang Allah hadapkan harusnya melibatkan Allah pula dalam menuntaskan. Hingga pada momen pernikahan kami. Kami harus berjuang sendiri dan menuntaskannya sendiri. Sendiri? Bagaimana bisa kau katakan sendiri?
Tenang, sabar-sabarlah sebentar.
Ah! Sudahlah... memang begitu.. buktinya begitu!
Dan ragam pembenaran datang di kepala seolah kita lah yang paling benar. Rasa-rasanya ini tak hanya berlaku pada diri sendiri, telah banyak bahkan kian kali terjadi. Lantas, apa yang perlu kita lakukan untuk ini? Tentu saja adalah menghargai diri sendiri dan menghargai anggapan-anggapan oranglain. Boleh saja mengilhami satu hal, namun jangan pernah menyalahkan satu hal lain yang juga orang yakini (sekalipun kita telah berjalan di jalan yang benar), karena menganggap keyakinan kita jauh lebih baik pun sedikit saja menjadikan kita layak mengkafirkan yang lain. Sensitif sekali persoalan kata-kata! Hingga menjerumuskan kita pada jurang 'Kekafiran'. Separah itu? Mendefinisikan kata 'kafir' saja pun kita harus berdialog berhari-hari untuk paham dan tak terjerumus dalam jurang kekhafiran. Betapa pentingnya menata hati dengan menghargai keyakinan-keyakinan yang ada, termasuk keyakinan oranglain akan agama yang ia yakini. Begitupun dalam agama kita sendiri, penting untuk kita membuka hati dan pikiran tentang mashab apa yang ia pakai.
Pada dasarnya semua kembali lagi bahwa bertanggung jawab atas diri kita adalah diri kita sendiri, bukan oranglain. Oranglain boleh memberi masukan, memberi pandangan namun jangan pernah menjadi penumpang bagi oranglain yang siap kemana saja mengikut arah tujuannya. Sebab kita tak pernah benar-benar tahu niat orang, apakah yang terjadi adalah kepedulian atau kepentingan semata.
I totally agree that everyone has own perspective, so we need to appreciate it all. it doesn't mean that we should follow every single rule of them. Also, be a rider for yourself, not a driver for others.
Allah telah mencatat takdir setiap mahluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi."
Tepat di Bulan Muharram inilah momentum Allah hadapakan hadiah indah yang patut kami syukuri, menikah dan menyandang status Strata dua dengan pilihan studi akhir yang luar biasa menantang. Barakallah! Tentu saja ini telah digariskan Allah, telah tercatat di Lauhul Mahfudz, jadi penting untung kita ucap syukur tanpa henti. Pun jika manusia mengimani takdir ini dengan benar, maka ia pasti akan memperoleh kebaikan yang teramat banyak. Ibnul Qayyim mengatakan;
Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi" (Al-Fawaid, hal. 94)
Jika masih saja ada anggapan yang menekankan pada kepercayaan bahwa Muharram bulan yang tak tepat untuk menikah, lantas mengapa kemudian sebagian ahli sejarah menguatkan bahwa pernikahan Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- dengan Fatimah –radhiyallahu ‘anha- terjadi pada awal-awal tahun ke-3 H. Bismillah, mari sama-sama meluruskan anggapan kita. Mitos ini memang masih menjadi keyakinan dan dipegang erat oleh masyarakat. Bukan hanya melangsungkan pernikahan, tapi mereka juga takut untuk bepergian ke tempat jauh dan banyak lagi larangan-larangan tak beralasan lainnya. Tak ada alasan ilmiah yang mendasari, pun tak ada dalil yang mendasari. Terkecuali doktrin turun-temurun dari nenek moyang dan para pendahulu, bukan? Sebagian besar masyarakat percaya kalau menikah di bulan Muharram akan mendatangkan musibah dan pasangan suami-istri tak akan bertahan lama. Astagfirullah.. naudzubillah mindzalik. Padahal, keyakinan tersebut tidak pernah diajarkan oleh Islam.
Mari saling mendo'a yang baik, jangan sampai kata-kata yang terucap dan berhasil lolos dari bibir kitalah yang mendatangkan musibah itu sendiri bagi diri kita dan oranglain. Sebab, ucapan-ucapan semacam ini begitu empuk bagi golongan Jin dan Syaiton mengelabuhi kita dan menyeret kita dalam kesesatan. Astagfirullah.. astagfirullahal adzim... tentu kali ini, saya tak ingin terlalu jauh membahas terlebih menganggap hal yang saya yakini lah hal yang paling benar. Setidaknya, kita paham bahwa kekhawatiran kita lah yang kadang mendatangkan hal-hal buruk bagi diri kita senidiri, jadi jangan sampai berusaha memengaruhi keyakinan oranglain. Naudzubillah... mari sama-sama memperbanyak 'Istigfar' dan saling menghargai keyakinan masing-masing. Pun jika siaran kita adalah kepedulian, cukuplah kita sampaikan, tak perlu memaksakan oranglain memahami bahkan menyeret oranglain mengikuti. InsyaAllah kita tak termasuk golongan yang demikian. Cukuplah kekhawatiran kita terhadap oranglain sebagai wujud rasa kepedulian kita tanpa harus memaksakan keadaan berdasar apa yang kita pahami.
Karena sejatinya, menghargai bukan berarti harus ikut mengilhami.
Arab Jahiliyah dahulu juga ada keyakinan serupa. Mereka takut menikah atau menikahkan pada bulan Syawal. Mereka berkeyakinan, bakal sial apabila melangsungkan akad pernikahan pada bulan ini. Mereka berkata, “Wanita yang hendak dikawini itu akan menolak lelaki yang ingin mengawininya seperti onta betina yang menolak onta jantan jika sudah dibuahi/bunting dan mengangkat ekornya.”
Pada intinya, mereka menganggap ada kesialan pada bulan ini untuk digunakan menikah, itulah mengapa penganut paham ini melarangnya. Padahal sesungguhnya, keyakinan ini adalah anggapan yang tak berdasar dan tidak dibenarkan oleh syariat maupun akal sehat. Ini merupakan perkara batil dan termasuk thiyarah atau tathayyur. Yaitu anggapan sial karena melihat atau mendengar sesuatu, ataupun karena sesuatu yang sudah maklum.
“Tidak ada penyakit menular dan tidak ada ramalan nasib sial.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Ramalan nasib adalah syirik, ramalan nasib adalah syirik (sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Al-Hakim. Al-Hakim mengatakan, hadits yang shahih sanadnya)
Membatalkan anggapan sial tersebut maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menikahi istri tercintanya, 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha pada bulan ini. Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata.
Kenyataan sebenarnya pembaca. Penulis ini hanya mencoba mengutarakan apa yang ia pahami tentang agamanya melalu proses belajar dan terus belajar, bukan memaksakan oranglain mengikuti apa yang ia pahami tentang agamanya. 'Life is matter of choice..' ikhlaskan dan jalani apa yang menjadi pilihan-pilihanmu dalam menapaki hidup. Asal jangan pernah lupa 'melibatkan Allah dalam tiap inci langkah yang kau tapaki' karena hidup dan matimu adalah milik Tuhanmu. Sangat mudah bagi Allah mengubah suatu keadaan. Tentu, yang menjadi penyesalan adalah jika kita kembali pada-Nya bukan pada ketaatan. Naudzubillah.. semoga kita termasuk diantara golongan yang Allah beri jalan kebaikan atas keputusan-keputusan hidup yang kita ambil. InsyaAllah "Bismillahirrohmanirrohim..."
Komentar
Sekedar informasi, bagi seorang penulis.. mengangkat satu topik bukan berarti tidak memahami ragam sudut pandang.
Penulis pun telah dibuat paham sejak awal mengenai akar permasalahan yang ada(bahkan sebelum diberlangsungkannya pernikahan kami).
Mengutip kembali komentar saudara "tidak baik menilai dari perspektif sendiri" Lantas, apakah saudara sudah paham betul sudut pandang saya?
Apakah "larangan pernikahan" yang penulis tulis di blog saudara disebabkan oleh karena "budaya" larangan menikah di bulan muharram?
Atau saja ternyata ada alasan lain?
Lalu, bolehkah saya bertanya. Apakah saudara sudah paham betul, alasan mengapa (harus) ditetapkannya tanggal tersebut? Jika belum, sini duduk dulu-kita ngopi dulu.