Langsung ke konten utama

Menikah Itu tentang Sebuah Keyakinan!




Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaykum warohmatullahi wabarokatuh.
Pembaca. Semoga tulisan ini mendapati kita dalam keadaan baik, niat yang baik dan harapan-harapan hidup yang baik. Kodratnya, kita adalah pendosa dan tak ada satupun yang benar-benar baik diantara kita. Kalaupun ada diantara kita yang terlihat baik, maka yang terlihat hanyalah sebatas usaha kita menjadi lebih baik, bertaubat pada-Nya. Jadi, mari menjadi baik tanpa menganggap diri jauh lebih baik. Yang salah adalah jika kita tak pernah berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ini, terus berkutat pada anggapan yang sama 'langkahku adalah jauh lebih baik' sebab anggapan inilah yang pada akhirnya menyeret kita yang telah baik malah kembali pada cerminan tak baik. Jika kita pernah dibuat terluka oleh satu sayatan, maka biarkan sayatan demi sayatan berikutnya menutupi rasa sakit yang kita tanggung sendiri, seperti itulah pengaruh pikiran membawa kita pada alam di bawah sadar. Belajar untuk memaafkan dan terus memaafkan. Memaafkan masa lalu yang membuat kita resah. Jika belum sepenuhnya sanggup, setidaknya kita telah memulai belajar memaafkan dari diri sendiri. Dengan begitu, kesempurnaan akan kebaikan semakin terasa.  @Igenaya
 
Seperti itu hidup mengajarkan. Semoga Allah menjaga keteguhan iman kita hari ini hingga tak ada lagi hari di muka bumi. InsyaAllah. Allahumma aamiin.

Kali ini tulisan saya terkesan sensitif, namun jika kita sanggup menyikapi dengan kepala dingin, tentu ini terkesan biasa saja. Alasannya, tulisan ini mengandung unsur (keyakinan) yang tak semua orang sama mengilhaminya. Saya menuliskannya sebagai siaran kebaikan, jika dianggap tak baik abaikan. Tulisan ini terpicu karena mendapati postingan salahseorang wanita di Story IG @mmardhiyah_ seorang teman di masa menempuh Strata dua, namun kami baru akrab beberapa tahun terkahir ini. 3 tahun terakhir jika tak salah ingat, terlebih semenjak kami menikah dan merantau, ternyata beliau ditakdirkan Allah pula mengais rezeki bersama suami di Kota Metropolitan, sebagai presenter TVRI Nasional, yang sebelumnya bekerja di stasiun televisi sama namun Regional Sulawesi Selatan, Alhamdulillah Allah angkat lagi derajatnya. Moment mula berkenalan kami tak biasa, dan keakraban kami terbilang menakjubkan. Berawal ketika Allah memberi kesempatan bagi kami duduk manis sebagai Juri di sebuah acara (Event) tahunan ECUINSA sebuah lembaga kebahasaan di Fakultas Adab, Kampus Hijau Indonesia Timur. Kampus tempat kami menuntaskan studi Strata satu, meski di Fakultas yang berbeda. MasyaAllah.

 


Saya berhasil menuntaskan studi S1 di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, sedang Mar'atun Mardiyah menyelesaikan studi S1 di Fakultas seberang, Adab dan Humaniora dengan Jurusan yang mirip-mirip dengan Departemen saya namun disiplin yang berbeda, dengan pilihan tak biasa pula (Pendidikan Bahasa Inggris dan Pendidikan Agama Islam). Dua hal yang sama-sama ruwet namun berhasil kami tuntaskan dengan baik. Itulah salahsatu sisi mengagumkan dari takdir yang Allah jatuhkan. Hingga akhirnya kami semakin akrab sebab alasan 'betapa banyak jalan hidup yang Allah hadapkan seperti berkaca dari kehidupan Mar'ah'... meski dipoles sedikit berbeda. Studi Strata satunya menuai kekaguman karena berhasil menuntaskan dua Departmen sekaligus S1 Sastra Inggris dan Pendidikan agama di kampus yang berbeda. Sangat jarang orang-orang mampu menyeimbangkan keduanya. MasyaAllah.. Alhamdulillah. Begitupun dengan saya yang mengambil Pendidikan S1 Bahasa Inggris dan dihadiahkan Allah amanah mewakili negara mengikuti Program Kuliah semester  pendek (Short Course) Jurusan Perbandingan Agama pada Program Vienna International Christian Islamic Summer University (VICISU) Austria 2016 silam, sesaat sebelum menuntaskan Studi Strata 1. 

 

Vienna International Christian Islamic Summer University (VICISU) adalah program pendidikan di Musim panas (Summer Course) yang bertujuan  menyatukan mahasiswa dan professor dari universitas yang tersebar di lima benua. Kegiatan ini merupakan bagian dari "Wina International Christian-Islamic Round Table (VICIROTa), dimana akademisi dari berbagai bidang seperti hukum, teologi, dan ilmu-ilmu sosial, berkumpul membahas isu global. Sedang VICISU sendiri adalah suatu Program yang mengubah cara pandang saya akan agama-agama di dunia dan cara pandang agama lain terhadap Islam. Awalnya, tak begitu yakin menjalankan amanah ini, betapa kekhawatiran (insecure) seketika menggeluguti bahwa saya lah yang Allah amanahi mewakili Indonesia dalam forum agama-agama. Artinya, saya bertanggungjawab atas transfer pemahaman penganut agama lain terhadap agama yang saya yakini bahwa Islam bukanlah agama yang identik dengan kekerasan (violence), seperti pemahaman kebanyakan media yang tak bertanggungjawab. Hanya berbekal latarbelakang penjual buku-buku agama di masa kuliah hingga hari ini, juga ilmu agama yang minim, serta kemampuan bahasa pemersatu dunia yang saya miliki, bismillah kata ayah- yakin saja.

Yang penting mau belajar. Posisikan diri seperti orang paling bodoh! Karena semakin kita tampak bodoh, semakin orang akan luwes membagikan kebenaran apa yang ia tahu. Belajarlah dari kebenaran apa yang orang-orang tahu! (Pesan ayah)



Kata-kata ayah seperti mantra jitu. Secepat kilat mengubah rasa khawatir saya menjadi kepercayaan diri yang luar biasa saat itu. Pun saya paham bahwa saat Allah amanahkan kita hal menakjubkan untuk dilakukan, artinya Allah percaya kita bisa. Harusnya, kepercayaan Allah lah yang menumbuhkan rasa percaya kita terhadap diri sendiri. Bismillahirrohmanirrohim. Sepanjang acara, saya mendapati hal-hal menakjubkan yang mungkin tak semua orang pernah merasakannya, satu diantaranya adalah penarikan kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang menyejukkan, damai dan penuh cinta. Islam mengingatkan kita akan keberadaan agama lain, jadi jangan pernah saling menyalahkan. Terlebih mencari kejelekan-kejelekan. Ini juga berlaku bagi kehidupan, bahwa menjadilah baik tanpa menganggap diri jauh lebih baik. InsyaAllah.. dengan begitu agama yang kita yakini (Islam) akan semakin terasa kesempurnaannya.

 




 


Memang sulit awalnya, namun berbekal keyakinan menolong agama Allah, maka agama pulalah yang menolong kita.  Meyakinkannya sama seperti ketika representatif/ penganut agama lain duduk menikmati suguhan masakan saya tanpa harus khawatir akan teracuni oleh hidangan penganut agama islam macam saya, perwakilan negara yang paling pluralis di dunia dengan aneka ragam agama, budaya, adat, etnis, suku, dan bahasa. Tatanan hidup secara toleran dengan enam agama yang di akui pemerintah (islam, kristen, hindu, budha, katolik dan kong hu chu. MasyaAllah. Semoga keberagaman ini yang menjadikan Indonesia semakin Indah dan penuh toleransi. Memang se krusial itu Islam dipandang agama buruk di dunia, sebuah ancaman di muka bumi. Sedang kenyataan tak begitu. Jika kekhawatirannya akan islam begitu dalam, harusnya ia tak mau mencicipi hidangan yang saya suguhi. Alhamdulillah, acara tuntas dengan kesimpulan yang mendamaikan "bahwa kita pun harus berhati-hati mengkafirkan oranglain, terlebih menganggap agama lain adalah kafir sebab boleh saja kita yang penganut agama Islam sekalipun lah yang kafir karena mengkafirkan penganut lain." 


 
 
Lantas mengapa banyak penganut Islam yang berbuat kejahatan, kekerasan, tindakan yang menyimpang? Tentu jawaban dari segala penjelasan adalah yang jahat dan kasar itu bukan Islamnya, tapi pribadinya. Jika ingin menyalahkan maka salahkanlah pribadinya/orangnya jangan agamanya/Islamnya. Selanjutnya, jangan pernah mengkafirkan, sebelum kita benar-benar paham makna kafir itu seperti apa, karena tindakan kita yang tak baik/ tak bermoral lah yang menjerat kita ke jurang kafir itu. Alhamdulillah, sebagai hadiah di penghujung acara, Allah apresiasi lagi sertifikat berlabel dunia akan keyakinan saya berjuang mempelajari agama yang saya anut ini, agama yang dipandang identik pada kekerasan (violence) hari ini, sedang mereka yang tak tahu bahwa Islam adalah agama penuh penghargaan, agama penuh toleransi.
Mana buktinya, Islam itu agama damai dan penuh toleransi?

Sedikit menilik kembali riwayat Nabi Muhammad Sang Pembawa Risalah Islam: Di Mekah, pada masa awal penyebaran ajaran Islam, Nabi menjadi sosok yang paling dibenci oleh para penentangnya. Berkali-kali, tak terhitung jumlahnya, Nabi menjadi target penganiayaan dan pembunuhan. Hasutan dan fitnah kepada Beliau jelas lebih tak terhitung lagi jumlahnya. Salah satu peristiwa yang terkenal dalam peristiwa rencana pembunuhan terhadap Beliau oleh para penentangnya adalah saat malam ketika tempat tidurnya digantikan oleh sahabat setianya, Ali bin Abi Thalib.  Pun malam itu para eksekutor rencana pembunuhan Nabi telah berhasil mengepung rumah Beliau. Rasanya tak mungkin beliau dapat lolos. Waktu itulah Sayidina Ali menggantikan tempat tidur Beliau. Sementara Nabi berhasil meloloskan. Para eksekutor tak alang kecewanya ketika mendapati bahwa Ali lah yang berada di tempat tidur tersebut.  

Dalam kejadian tersebut ada yang meriwayatkan bahwa Jibril datang menemui Nabi dan menyampaikan bahwa seandainya Nabi berkenan, orang-orang atau para eksekutor itu dapat dibinasakan, atas izin Allah. Nabi, dengan kelembutan hatinya menolak tawaran Malaikat Jibril. Alih-alih, Beliau mendoakan yang terbaik bagi para eksekutor tersebut dan agar dibukakan pintu hati mereka. Tak ada kebencian, tak ada dendam di hati beliau. Penuh cinta kasih. Dari banyak percobaan pembunuhan kepada beliau, juga atas dasar terancam jiwa para sahabat beliau, beliau terusir dari kampung halaman kesayangannya, Makkah. Lalu hijrah ke Yasrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Teramat banyak peristiwa yang menunjukkan kelemah-lembutan hati dan perilaku Sang Nabi dalam menjalankan kehidupannya. Sama sekali tak ada kekerasan. Bahkan perang yang dialami oleh beliau semua atas asas pertahanan; bukan penyerangan, bukan arogansi, apalagi ekspansi. Tak ada. Jika diantara kita ada yang nampak jelek atau tak baik tindakannya nasehati dengan baik. Jika tak diindahkan kepedulian kita, maka doakanlah! Semoga kisah ini bisa menjadi alasan untuk kita semakin menumbuhkan rasa cinta pada Allah dan Rasul untuk selanjutnya kita ilhami dalam kehidupan kita. InsyaAllah.

Man ra-a minkum munkaran fa al-yughayyir bi al-yadihi, fa in lam yastathi’ bi al-lisanihi, fa in lam yastathi’ bi al-qalbihi, wa dzalika ad’af al-iman”. Artinya: “Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu/kekuasaanmu (bi yadihi); Jika tidak bisa, tegurlah dengan ucapan (bi lisanihi); Jika (tetap) tidak bisa, cukup dengan mendoakannya (bi qalbihi); dan yang demikian itulah lemahnya iman seseorang.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Kembali pada kisah kami, Saya dan Mar'ah. Semakin hari kebesaran Allah semakin terasa nyata terhadap kami, dua gadis yang akhirnya menyandang gelar sebagai istri, tentu dengan skenario luar biasa yang Allah hadapkan, termasuk pada momen ini, momen dimana Allah beri kesempatan bagi kami duduk bersama memenuhi undangan sebagai juri di kompetisi Bahasa Inggris tahunan yang terbilang besar di Indonesia Timur. Disini kami menggarisbawahi betapa Skenario yang Allah hadapkan begitu menakjubkan. Kurang lebih dua tahun kami dihadapkan dengan jadwal kuliah yang sama di Kampus Biru starata dua kami, sebab kita sekelas. Namun kami tak pernah begitu akrab di dalam kelas, sebatas menjawab pertanyaan demi pertanyaan di forum diskusi sesekali, itupun jika dosen memberi kesempatan. Mengapa se-awkward itu? Kikuk sekali kedengarannya. Yah, memang terdengar aneh, namun ini hanya gambaran sekilas saja, mungkin boleh jadi akan ada yang menciptakan anggapan baru dengan mengatakan 'Sombong amat!' 

 
 

Seringkali terjadi. Anggapan-anggapan sebagian orang seperti menuhankan diri sendiri. Tak masalah jika orang-orang menganggap sombong kami yang nampak sibuk dengan diri sendiri, pun hingga terkesan mengejar dunia, asal kenyataan yang kami hadapi tak berhasil membenarkannya. Memang benar, masa kuliah strata dua memang begitu ruwet di kepala, terlebih untuk ukuran mahasiswa yang memilih kuliah sambil bekerja seperti kami, bahkan pagi, siang dan malam tak begitu jelas terasa. Itulah yang terjadi pada kami-kami yang mengambil pilihan hidup dengan menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, juga memenuhi kebutuhan studi di sela tugas kuliah dan tugas kantor yang silih berganti. Jika ada yang keberatan dengan kondisi ini, dengan menganggap ini menggilakan, yasudah tak apa. Semoga harapan baik orang-orang diijabah Allah sebagai bagian dari introspeksi diri dalam menapaki hidup kedepan. Tentu saja niat mencari keberkahanlah disetiap inci langkah hidup yang ditapaki, itulah alasan yang paling menguatkan dan berarti. Tak banyak yang mau mengambil langkah ini, kurang istirahat (tidur) karena harus memorsir energi demi menuntaskan deadline tugas kantor dan tugas kuliah yang sama-sama pentingnya dalam semalaman. Memang menggilakan, bahkan sebagian orang yang keliru akan menganggap kami gila akan dunia semata. Sedang ia tak tahu! Keyakinan kami tentang hal menggilakan ini adalah bentuk dari jihad kami dalam menapaki hidup, InsyaAllah. Jadi tolong, perbaiki persepsi ini. Pun sepanjang proses mengejar ilmu dan mencari penghidupan, hadits inilah yang meneguhkan kami:

"Barang siapa yang kelelahan pada malam hari karena mencari penghidupan halal, terampunilah dosanya!" (HR. Ahmad dan Ibnu Asakir).

"Barang siapa yang  keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang." (HR. Turmudzi)

Seperti itulah perjuangan hidup mengajarkan saya. Tentu, yang bertanggungjawab atas diri sendiri adalah diri sendiri. Kita yang jalani maka kita pula yang nikmati. Jadi, jika ada yang menanggapi negatif, tentu kita harus menerimanya dengan pikiran terbuka dengan menata pikiran kita akan kenyataan yang ada, bahwa jika ada yang menganggapi baik hidup kita, maka tentu akan ada pula yang menanggapi buruk kehidupan kita. Jadi, mari menata hati kita saja! Tak perlu sibuk mengurusi isi kepala oranglain, jika ia menilai kita ini itu. Berprasangka tentang kita ini itu, maka itu juga bukan urusan kita. Kalau kata yang terlontar begitu pedih, maka elus lah dada... Cukuplah kita pandai memaafkan diri sendiri dan memaafkan oranglain. Tetap fokus memperbaiki diri, semoga sangkaan-sangkaan kita terhadap oranglain sebatas bisikan (syaiton) dan tak berhasil menguasai hati, juga pikiran kita. InsyaAllah. Allahumma aamiin.

Kami takjub. Semakin dalam saja kekaguman kami akan Skenario Allah, ketika kabar bahwa di bulan yang sama kami akan menyebar undangan ujian akhir studi Strata dua, sekaligus hadiah sebuah pernikahan dari Allah. Meski ini bukan hal mudah, begitu rumit mengingat kami harus menuntaskan tiga jenis ujian di perguruan tinggi, untuk selanjutnya mengurus pernikahan yang tinggal hitungan hari setelah kami yudisium. Ini situasi paling gila yang pernah Allah hadapkan. Bahkan saya harus menyalakan kian kali keran air untuk meluapkan segala kesedihan dan kegelisahan. Semakin derasnya air, semakin deras pula tangis terpecahkan. Tentu saja, saya tak pernah berburuk sangka pada Allah. Lebih kepada rasa tak sabar menunggu hadiah apa yang Allah ingin berikan pada tangga kehidupan saya selanjutnya?

@mmardhyah_ membenarkan pemahaman saya dalam postingannya

Bulan Muharram menyimpan kenangan hebat tersendiri dalam hidup saya dan suami, juga pasangan Mar'atun Mardiyah dan suaminya. Terlebih dihadapkannya kami dengan dua perjuangan yang sama-sama sulit ini, namun tentu saja patut disyukuri. Menuntaskan studi dan mengurusi pernikahan sendiri. Sangat mirip. Mar'ah berjuang menuntaskan Studi bersamaan dengan berjuangnya saya menuntaskan studi di kampus yang sama. Sedang calon kami, juga sedang berjuang menuntaskan studinya di tempat masing-masing. Calon yang hari ini telah berstatus suami juga calon Mar'ah yang juga telah resmi sebagai pasutri adalah pasangan yang jalan jodohnya juga hampir sama dengan jalan takdir kami. Bedanya, Mar'ah berkenalan dengan suami di masa mondok di Pesantren, meski sebatas teman namun pelan-pelan saling suka. Sedang kami, berkenalan di Kampus hijau dengan status mahasiswa baru pendidikan Bahasa, sekelas pula lalu Allah bentangkan jarak dengan meloloskan salah satu diantara kami pada perguruan tinggi vokasi di lingkungan Kementerian Keuangan, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Padahal kami baru saja saling mengutarakan perasaan. Disini, tak hanya itu kenyataan yang sedikit pahit Allah hadapkan. Namun, banyak rentetan-rentetan ujian yang harus kami tuntaskan, jenisnya pun beragam. Namun, cobaan demi cobaan ini yang membuat kami saling menguatkan dari kejauhan dan meyakinkan pula dalam doa. Yakin, bahwa segala yang Allah hadapkan harusnya melibatkan Allah pula dalam menuntaskan. Hingga pada momen pernikahan kami. Kami harus berjuang sendiri dan menuntaskannya sendiri. Sendiri? Bagaimana bisa kau katakan sendiri? 

 
Tenang, sabar-sabarlah sebentar.
Yang disebut sendiri disini bukan berarti kami telah berhasil menuntaskan acara hingga usai tanpa bantuan orang-orang. Bukan! Jangan pernah menarik kesimpulan dari sudut pandang diri sendiri. Ini sebatas istilah yang maknanya perlu ditelaah matang-matang, agar kita sama-sama sepakat bahwa kata-kata tak selamanya bermakna tunggal, ia bisa bermakna ganda atau bahkan lebih, karena cara pandang kita berbeda. Sendiri yang kami maksud adalah tentang keyakinan, paham agama yang dimonopoli oleh budaya. Terkhusus pada kesalahpahaman kepercayaan orang tua terdahulu (tu toae), mengenai Muharram dan larangan menikah di bulan Muharram. Saya adalah salahsatu diantara korban kepercayaan turun-temurun itu. Meski panjang lebar, tetap saja mendapati perdebatan. Benar bahwa Muharram (Bulan Haram) adalah bulan dimana diharamkannya perbuatan-perbuatan dzolim, perbuatan-perbuatan buruk, sebab dosanya akan dilipatgandakan. Begitupun berlaku pada kebaikan, pahalanya pun akan dilipatgandakan. Penegasan ini disinggung dalam Al-Qur'an Surah At-Taubah ayat 36 bahwa apabila pada bulan-bulan haram seperti bulan Muharram manusia melakukan kedzaliman seperti berperang atau membunuh, maka ia akan mendapatkan dosa yang berlipat ganda dari Allah SWT. 
 
Lantas mengapa begitu dimuliakan bulan ini? Tentu saja karena banyak momentum-momentum sakral yang bertepatan di bulan ini, diantaranya adalah (1) Allah ciptakan langit dan bumi, (2) Allah selamatkan Nabi Musa Alaihissalam dan kaum Bani Israil dari kejaran raja Firaun, dimana dalam peristiwa itu Firaun dan keluarganya mati tenggelam di laut Merah. (3) Allah ciptakan Adam Alaihissalam dan Siti Hawa (4) Allah ciptakan Syurga (5) Allah terima taubat nabi Adam Alaihissalam dan dimasukkannya ke surga (6) Allah selamatkan Nabi Nuh Alaihissalam dari bahtera setelah bumi tenggelam selama enam bulan, juga (7) Allah selamatkan Nabi Ibrahim dari api yang sengaja digunakan untuk membakar dirinya oleh raja Namrud (8) Allah bebaskan Nabi Yusuf Alaihissalam dari penjara (9) Allah pulihkan Nabi Ayyub Alaihissalam dari penyakit kulit yang dideritanya (10) Allah SWT pulihkan penglihatan Nabi Yakub Alaihissalam dari kebutaan (11) Allah selamatkan Nabi Yunus Alaihissalam dari dalam perut ikan setelah terkurung selama 40 hari 40 malam (12) Allah karuniakan kerajaan yang besar bagi Nabi Sulaiman Alaihissalam dan (13) Allah ciptakan alam dan pertama kali diturunkannya hujan. 
 
Itulah mengapa di bulan Muharram dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan di bulan haram tersebut. Dari pemahaman inilah penting untuk kita saling menghargai, karena tanpa perbedaan maka tak begitu nikmat hidup yang Allah suguhkan. Mengapa demikian? Pun kita lahir dengan keunikan masing-masing, jika ada kemiripan bukan berarti kita sama, begitupun cara pandang kita.  Jika kita paham akan perbedaan ini, maka harusnya kita tak memenjarakan kata-kata, pun kenyataannya adalah sudut pandang keilmuan dalam memaknai kata-kata pun tak sebatas harfiah. Namun banyak cara memaknai kata termasuk diantaranya sosiolinguistik, pshycolinguistic, morphology, syntax, dan disiplin ilmu lain yang perlu kita telaah lebih jauh jika ingin bijak dalam menarik kesimpulan. Pada dasarnya, pandangan-pandangan yang muncul ini tentu tujuan mencari kebenaran, semoga kedepan kita tak salah dalam penarikan kesimpulan atas kebenaran. Aamiin.
 


 
Kembali pada kata 'sendiri'. Saya pun sempat dibuat bingung untuk menjelaskan kata ini jika harus dijelaskan lebih jauh. Terlebih jika mengingat betapa satu kata ini begitu berpengaruh pada cara pandang kita dalam menarik kesimpulan dan banyak anggapan-anggapan. Seperti saat saya dihadapkan Allah pada satu persoalan hidup yang begitu besar namun pada kenyataannya adalah hal paling sepele namun harus dibesar-besarkan. Karena kesalahpahaman, yang tak lain dan tak bukan adalah terlalu cepat menciptakan anggapan-anggapan sedang kita sedang dirundung pusaran gelap kesesatan. Bagaimana bisa kata-kata bisa menjadikan kita sesat? Nah, ini pertanyaan besar yang perlu kita dalami lagi agar tidak terjerumus lebih jauh hingga menyeret istilah baru yang disebut 'Kafir'. Kok bisa? Tentu saja bisa. Tanpa kita sadari, karena kita telah bermain dengan kata-kata yang 'sensitif', begitu tajam hingga menyakitkan. Menyakitkan seperti apa yang dimaksudkan disini? Menyakitkan karena membiarkan kata-kata menjadi sayatan-sayatan di dada sedang kita sendiri yang menciptakan.
 


Pernah, bahkan seringkali. Saya harus menjelaskan kian kali pada orang lain, juga pada diri sendiri untuk menyembuhkan luka yang kita buat sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena pusaran gelap yang kumaksudkan tadi. Pusaran apa itu? yah, ini jenis pusaran yang menyesatkan pikiran kita, pusaran yang diciptakan jin dan syaiton. Jika kita terpedaya, maka disitu letak kebahagiaan abadinya. 'Perbanyak istigfar!!! Mungkin yang baru saja terjadi adalah telah atau bahkan sedang bermain-main dengan 'sandiwara' sayiton. Dan ini bisa saja terjadi kian kali. Tak perlu melihat apa yang ditimpakan pada oranglain, lihatlah dulu diri sendiri. Apa pernah sebuah masalah Allah hadapkan sedang yang kita lakukan adalah terus mencari jalan keluar sendiri? Memperbaiki pikiran, namun pada akhirnya kita kalah dengan menyalahkan oranglain. 
Ah! Sudahlah... memang begitu.. buktinya begitu!

Dan ragam pembenaran datang di kepala seolah kita lah yang paling benar. Rasa-rasanya ini tak hanya berlaku pada diri sendiri, telah banyak bahkan kian kali terjadi. Lantas, apa yang perlu kita lakukan untuk ini? Tentu saja adalah menghargai diri sendiri dan menghargai anggapan-anggapan oranglain. Boleh saja mengilhami satu hal, namun jangan pernah menyalahkan satu hal lain yang juga orang yakini (sekalipun kita telah berjalan di jalan yang benar), karena menganggap keyakinan kita jauh lebih baik pun sedikit saja menjadikan kita layak mengkafirkan yang lain. Sensitif sekali persoalan kata-kata! Hingga menjerumuskan kita pada jurang 'Kekafiran'. Separah itu? Mendefinisikan kata 'kafir' saja pun kita harus berdialog berhari-hari untuk paham dan tak terjerumus dalam jurang kekhafiran. Betapa pentingnya menata hati dengan menghargai keyakinan-keyakinan yang ada, termasuk keyakinan oranglain akan agama yang ia yakini. Begitupun dalam agama kita sendiri, penting untuk kita membuka hati dan pikiran tentang mashab apa yang ia pakai.

Pada dasarnya semua kembali lagi bahwa bertanggung jawab atas diri kita adalah diri kita sendiri, bukan oranglain. Oranglain boleh memberi masukan, memberi pandangan namun jangan pernah menjadi penumpang bagi oranglain yang siap kemana saja mengikut arah tujuannya. Sebab kita tak pernah benar-benar tahu niat orang, apakah yang terjadi adalah kepedulian atau kepentingan semata.

I totally agree that everyone has own perspective, so we need to appreciate it all. it doesn't mean that we should follow every single rule of them. Also, be a rider for yourself, not a driver for others.
Bulan Muharram banyak mengisi ruang tersendiri dalam ingatan saya. Mengapa? Karena dua hal yang Allah hadapkan di bulan ini adalah sama-sama baik namun mendapati tantangan luar biasa untuk ragam ujian yang Allah hadapkan. Ujian akhir studi Strata dua dan ujian menuju pernikahan, yang jelas telah banyak menyita waktu, energi dan substansi. Sejak 2018 perjuangan menuntaskan studi ini seperti mencekik leher sendiri. Mengambil penelitian yang sulit sedang ada banyak pilihan-pilihan mudah yang bisa kita ambil. Mengapa? Sebab sejak awal saya begitu tegas tentang pilihan hidup, menjalaninya dengan biasa-biasa saja atau dengan banyak keajaiban-keajaiban, itu pilihan. Lantas? Mengapa harus mengikut pilihan oranglain sedang kita punya pilihan sendiri yang kita yakini. Yang perlu diperbaiki adalah memperbaiki persepsi (anggapan), sebab konsekuensinya akan jatuh pada kesalahan konsep berpikir yang benar yang juga tentu mengantarkarkan kita pada penarikan kesimpulan yang salah, yang pada akhirnya berakhir pada tindakan kita yang kurang tepat. Ini yang begitu diyakini seorang penulis yang banyak belajar dari kejadian-kejadian menakjubkan dalam hidupnya. Termasuk saya!
 
 
Jika banyak anggapan yang menghadirkan kekhawatiran tentang 'Larangan Menikah di Bulan Muharram' maka takkan goyah keyakinan ini untuk tetap melangsungkan pernikahan. Pertama, ini sudah menjadi takdir kami. Maju adalah satu-satunya pilihan bagi kami, mengundur-undur waktu bukanlah pilihan tepat. Bukan karena kami begitu 'keras kepala' namun kondisi yang mengharuskan, juga keyakinan yang terus kami pegang teguh, sebab kenyataan sebenarnya adalah Jumat/ 20 september 2019/ 20 Muharram 1441 H adalah hari paling sakral, tentu saja bukan sial bagi kami. Jumat adalah hari yang agung, hari dimana diciptakan nabi adam dan di hari itu pula pernikahan Nabi Adam dan Hawa. Sepanjang pengetahuan dan sepanjang cara-cara kami menghargai takdir Allah yang ia gariskan bagi kami sejak 50.000 tahun yang lalu sebelum penciptaan langit dan bumi. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda:
Allah telah mencatat takdir setiap mahluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi."

Tepat di Bulan Muharram inilah momentum Allah  hadapakan hadiah indah yang patut kami syukuri, menikah dan menyandang status Strata dua dengan pilihan studi akhir yang luar biasa menantang. Barakallah! Tentu saja ini telah digariskan Allah, telah tercatat di Lauhul Mahfudz, jadi penting untung kita ucap syukur tanpa henti. Pun jika manusia mengimani takdir ini dengan benar, maka ia pasti akan memperoleh kebaikan yang teramat banyak. Ibnul Qayyim mengatakan;

Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah  kehendaki tidak akan terjadi"  (Al-Fawaid, hal. 94)

Jika masih saja ada anggapan yang menekankan pada kepercayaan bahwa Muharram bulan yang tak tepat untuk menikah, lantas mengapa kemudian sebagian ahli sejarah menguatkan bahwa pernikahan Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- dengan Fatimah –radhiyallahu ‘anha- terjadi pada awal-awal tahun ke-3 H. Bismillah, mari sama-sama meluruskan anggapan kita. Mitos ini memang masih menjadi keyakinan dan dipegang erat oleh masyarakat. Bukan hanya melangsungkan pernikahan, tapi mereka juga takut untuk bepergian ke tempat jauh dan banyak lagi larangan-larangan tak beralasan lainnya. Tak ada alasan ilmiah yang mendasari, pun tak ada dalil yang mendasari. Terkecuali doktrin turun-temurun dari nenek moyang dan para pendahulu, bukan? Sebagian besar masyarakat percaya kalau menikah di bulan Muharram akan mendatangkan musibah dan pasangan suami-istri tak akan bertahan lama. Astagfirullah.. naudzubillah mindzalik. Padahal, keyakinan tersebut tidak pernah diajarkan oleh Islam. 

Mari saling mendo'a yang baik, jangan sampai kata-kata yang terucap dan berhasil lolos dari bibir kitalah yang mendatangkan musibah itu sendiri bagi diri kita dan oranglain. Sebab, ucapan-ucapan semacam ini begitu empuk bagi golongan Jin dan Syaiton mengelabuhi kita dan menyeret kita dalam kesesatan. Astagfirullah.. astagfirullahal adzim... tentu kali ini, saya tak ingin terlalu jauh membahas terlebih menganggap hal yang saya yakini lah hal yang paling benar. Setidaknya, kita paham bahwa kekhawatiran kita lah yang kadang mendatangkan hal-hal buruk bagi diri kita senidiri, jadi jangan sampai berusaha memengaruhi keyakinan oranglain. Naudzubillah... mari sama-sama memperbanyak 'Istigfar' dan saling menghargai keyakinan masing-masing. Pun jika siaran kita adalah kepedulian, cukuplah kita sampaikan, tak perlu memaksakan oranglain memahami bahkan menyeret oranglain mengikuti. InsyaAllah kita tak termasuk golongan yang demikian. Cukuplah kekhawatiran kita terhadap oranglain sebagai wujud rasa kepedulian kita tanpa harus memaksakan keadaan berdasar apa yang kita pahami. 

Karena sejatinya, menghargai bukan berarti harus ikut mengilhami.

Arab Jahiliyah dahulu juga ada keyakinan serupa. Mereka takut menikah atau menikahkan pada bulan Syawal. Mereka berkeyakinan, bakal sial apabila melangsungkan akad pernikahan pada bulan ini. Mereka berkata, “Wanita yang hendak dikawini itu akan menolak lelaki yang ingin mengawininya seperti onta betina yang menolak onta jantan jika sudah dibuahi/bunting dan mengangkat ekornya.”

Pada intinya, mereka menganggap ada kesialan pada bulan ini untuk digunakan menikah, itulah mengapa penganut paham ini melarangnya. Padahal sesungguhnya, keyakinan ini adalah anggapan yang tak berdasar dan tidak dibenarkan oleh syariat maupun akal sehat. Ini merupakan perkara batil dan termasuk thiyarah atau tathayyur. Yaitu anggapan sial karena melihat atau mendengar sesuatu, ataupun karena sesuatu yang sudah maklum.

Tidak ada penyakit menular dan tidak ada ramalan nasib sial.(HR. Muttafaq ‘Alaih)

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ

Ramalan nasib adalah syirik, ramalan nasib adalah syirik (sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Al-Hakim. Al-Hakim mengatakan, hadits yang shahih sanadnya)

Membatalkan anggapan sial tersebut maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menikahi istri tercintanya, 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha pada bulan ini. Diriwayatkan dari Ummul Mukminin, 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata.

Kenyataan sebenarnya pembaca. Penulis ini hanya mencoba mengutarakan apa yang ia pahami tentang agamanya melalu proses belajar dan terus belajar, bukan memaksakan oranglain mengikuti apa yang ia pahami tentang agamanya. 'Life is matter of choice..' ikhlaskan dan jalani apa yang menjadi pilihan-pilihanmu dalam menapaki hidup. Asal jangan pernah lupa 'melibatkan Allah dalam tiap inci langkah yang kau tapaki' karena hidup dan matimu adalah milik Tuhanmu. Sangat mudah bagi Allah mengubah suatu keadaan. Tentu, yang menjadi penyesalan adalah jika kita kembali pada-Nya bukan pada ketaatan. Naudzubillah.. semoga kita termasuk diantara golongan yang Allah beri jalan kebaikan atas keputusan-keputusan hidup yang kita ambil. InsyaAllah  "Bismillahirrohmanirrohim..."



Komentar

Anonim mengatakan…
Maaf sepertinya saudara ini belum paham terkait permasalahan sebenarnya terkait pertentangan itu. Keluarga mempertentangkan bukan karena "Bulan Muharram" melainkan karena waktu yg dipilih tersebut tidak didiskusikan oleh keluarga besar dimana tanggal tersebut bertepatan dengan acara besar keluarga saudara Bapak kakak sendiri 🙏 Seperti yang saudara katakan, tidak baik menilai dari perspektif sendiri. Jadi sebelum meninggalkan jejak "kisah" yang tidak lurus ini, mohon melihat dari dua sisi dan memahami seluk beluk permasalahan yang sebenarnya 🙏
Ige Naya mengatakan…
Kata "sepertinya" baru saja menuai anggapan baru di komentar saudara.

Sekedar informasi, bagi seorang penulis.. mengangkat satu topik bukan berarti tidak memahami ragam sudut pandang.

Penulis pun telah dibuat paham sejak awal mengenai akar permasalahan yang ada(bahkan sebelum diberlangsungkannya pernikahan kami).

Mengutip kembali komentar saudara "tidak baik menilai dari perspektif sendiri" Lantas, apakah saudara sudah paham betul sudut pandang saya?
IGE NAYA mengatakan…
http://igege.blogspot.com/2020/09/kehidupan-mengajarkan-untuk-terus.html
Anonim mengatakan…
Lalu apa akar permasalahan yang penulis maksud bila penulis memang sudah paham?

Apakah "larangan pernikahan" yang penulis tulis di blog saudara disebabkan oleh karena "budaya" larangan menikah di bulan muharram?

Atau saja ternyata ada alasan lain?
Anonim mengatakan…
Dari sekian kalimat yang penulis rangkai, saya menyimpulkan bahwa pertentangan pernikahan saudaha disebabkan oleh "paham keluarga akan larangan menikah di bulan muharram". Apakah seperti itu pemahaman penulis?
IGE NAYA mengatakan…
Lagi dan lagi perlu saya perjelas bahwa tulisan ini hadir karena bertepatan dengan momentum yang sama "Bulan Muharram" dan fokus menyoroti "Larangan Menikah di bulan Muharram" sebagai siaran agama, kebetulan saya juga mendapati inpuls tak nyaman ini pada hari H pernikahan kami dari orang-orang di Kampung halaman kami. Bukan berarti masalah yang dihadapkan Allah pada momen pernikahan kami hanya sebatas Muharram saja.


Lalu, bolehkah saya bertanya. Apakah saudara sudah paham betul, alasan mengapa (harus) ditetapkannya tanggal tersebut? Jika belum, sini duduk dulu-kita ngopi dulu.

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Baik

  Memilih milih teman itu boleh. Yang ngga boleh itu, memilih milih berbuat baik ke orang. Kenapa? Karena karaktermu bergantung dengan siapa lingkunganmu. Kalau bergaul dengan orang yang ngga bener, ya kecipratan juga ngga benernya. Kecuali kalau kamu udah bisa mastiin orang disekitarmu adalah orang yang baik. Dan akan memberi pengaruh baik. Atau, kamu udah bener-bener baik untuk menjadi orang yang berpengaruh baik di lingkunganmu. But, who knows? Kita manusia biasa, banyak khilafnya. Jadi, perlu ada batasan. Jangan semua dijadiin temen. Maaf. Saya berani bilang gini karena pengalaman yang mengajarkan. Bahwa ngga semua orang adalah baik dan memberi pengaruh baik untuk kita.  Jadi fokus saja berbuat baik semampunya, dan menjadi lebih baiklah dari hari hari sebelumnya.

Tak Perlu Ada Iri Diantara Kita

  Hal yang paling melekat dalam diri manusia dan tak bisa lepas adalah rasa ingin lebih atau rasa tak puas diri. Sebenarnya hal ini bisa saja positif, namun tak banyak yang sanggup mengontrol ini dengan baik. Karena sejatinya, merasa puas itu tak baik jika porsinya terlalu. Mengapa? karena terlalu cepat puas menghadirkan energi negatif bagi diri sendiri; (1) merasa terlena dan tak ingin lagi melakukan hal lain, jatohnya malas, (2) menjadi bangga diri, memuji diri, besar kepala dan sedikit saja akan menampakkan kesombongan (3) tertinggal langkah yang lain, hingga usaha kita banyak terlampaui oranglain yang pada akhirnya melahirkan rasa iri di dalam hati (4) Menutup kesempatan untuk lebih mengembangkan potensi diri, sebab merasa cukup bisa saja membuat kita tidak bisa merambah ke bidang yang lain. N audzubillah mindzalik. Meski kita pun sama-sama paham bahwa rasa puas pun dibutuhkan untuk mengucap syukur atas apa yang Allah beri, pun bagian dari usaha berterima kasih p...