Sekalian numpang promo bisnis kecil-kecilan di blog sendiri. Hijab maskernya dari @Igestore_berikhtiar ya! Silahkan follow akunnya.Jangan terlalu serius membaca, nanti rontok tuh bulu mata.
Hidup tak pernah lepas dari masalah-masalah. Hari ini kita bisa saja diatas, besok boleh jadi kita dibawah. Kemarin kita bahagia, hari ini kita malah menitihkan air mata. Pernah satu masa kita begitu akrab dengan seseorang, bersahabat bahkan lebih dari saudara. Tapi siapa sangka? Kedekatan itu malah terenggut karena hal sepele saja. Di moment lain kita dihadapkan dengan pencapaian yang luar biasa, namun kegagalan menengadahkan pandangan kita. Boleh saja, kita menyalahkan diri sendiri tapi jangan pernah menyalahkan oranglain di situasi apapun. Mengapa? Karena masalah datang dengan dua opsi yang disodorkan. Diterima sebagai pembelajaran, maka masalah yang membesarkan kita. Ataukah... tak berterima? Tentu masalah pula lah yang merapuhkan kita.
Memang sulit, bahkan seringkali keadaan tak adil, tapi jika saja kita mau mengambil sisi baik dari segala persoalan, maka kebaikan pula yang menghampiri kita. Jujur saja, banyak masalah yang hadir di hidup ini tak jauh-jauh dari persoalan komunikasi. Bukan kali pertama, sudah kian kali bahkan tak terbilangkan jemari. Ini lumrah, siapapun dia, setinggi apa pun pangkatnya.. di hadapan Allah jatah masalah akan tetap sama. Mulai dari buaian ibu, hingga usapan syahadat terakhir pun masih dihadapkan juga dengan masalah. Naudzubillah.. bahkan terparahnya, insan yang tak lagi berdaya dan meninggalkan kehidupan dunia pun ada-ada saja yang masih dihadapkan masalah, persoalan hutang misalnya. Semoga kita tidak termasuk diantaranya.
Pun persoalan ini, mendapati saya seperti meneliti diri sendiri, judulnya pun saya ACC sendiri tanpa pembimbing dari Universitas kehidupan. Hasilnya tak menunggu ijasah Strata tiga. Sebut saja "Study of Human Communication in transferring meaning and solving problems" Ini penelitian terpanjang saya seumur hidup, seperti menuntaskan teka-teki namun sulit sekali menemukan titik kebenaran di dalam setiap persoalannya. Sulitnya melebihi penelitian strata dua yang baru saja saya tuntaskan. Mengapa persoalan komunikasi harus di-underline di tulisan ini? Karena simpulan dari ragam masalah (matters) yang saya sapa di hidup ini tak terlepas dari persoalan bagaimana memperbaiki komunikasi, the way to transfer the meaning. Dengan kata lain, komunikasi sendiri lah titik terpenting dari kian masalah yang harusnya tuntas dan tak membekas. Mengapa banyak masalah lahir namun tak pernah berhasil menemui kebenarannya? Karena kembali lagi, ini persoalan komunikasi semata. Terdengar begitu sederhana, namun membiarkannya berkutat pada pusaran yang sama akan mendatangkan celah tersendiri untuk masalah baru yang entah dari mana sumbernya.
Masalah boleh berjuta-juta, bahkan melebihi dari prasangka. Namun, adakah kesanggupan kita lepas dari sebuah masalah; memperbaiki, dan melewatinnya tanpa menyisakan luka atau bahkan malah mendatangkan masalah-masalah baru? Ini titik pertanyaan besarnya. Nah, berangkat dari pertanyaan inilah, pertanyaan baru yang lebih solutif mendukung dan semakin bermunculan; bagaimana cara untuk lepas dari setiap persoalan yang ada tanpa menyisakan persoalan baru?
Dari pendekatan (approach) yang saya pahami, didukung ragam sumber literatur (literature sources) kebahasaan yang telah saya pelajari, maka letak pemecahan masalah (problem-solving) di hidup ini tak pernah lepas dari bagaimana kita memperbaiki komunikasi. Saya pribadi adalah tipikal yang sangat menjunjung tinggi kebahasaan, tak terlepas dari gelar yang direkatkan hingga strata dua. Kenyataannya, saya adalah pribadi yang sangat sensitif terhadap kata-kata. Satu kata yang tak tepat saja mampu merobohkan kepercayaan diri saya, pun satu kata yang lirih mampu memengaruhi pandangan saya terhadap seseorang, bahkan terhadap ayah saya sekalipun. Jangan salah! bukan berarti saya jenis pendendam. Namun lebih kepada "mudah sekali kecewa". Itu lah saya, buruknya saya yang hingga hari ini masih saja berjuang untuk menjadi pandai menepis jenis perasaan yang merugikan diri sendiri.
Sepanjang hidup, menangis adalah hobby pertama yang dihadiahkan Tuhan untuk saya. Saya lahir dengan tangis yang pecah diantara dunia yang tertawa. Pun saya harus menanggung luka yang telah saya buat sendiri, sementara tawa yang orang-orang ciptakan adalah sebuah sambutan kebahagiaan. Disini, awal penegasan betapa kolotnya kita tanpa komunikasi. Nah, mengapa menyebutnya hobby? bukankah ini tak terdengar buruk? Sudahlah.. ini hanya pengistilahan saja. Setidaknya pembaca paham, penulis yang begitu kolot ini adalah jenis yang begitu rapuh hanya dengan persoalan kata-kata, bahkan sambutan tawa.
Saya kurang paham mengenai ini, mungkin psikolog anak punya jawaban tepat mengenai persoalan saya satu ini. Sejak kecil, orang-orang mengenal saya adalah jenis yang mudah sekali menangis. Menyaksikan anak-anak tersungkur, jatuh menimpa tanah saja alhasil membuat saya menangis. Terlebih jika saya yang terlukai. Tak melulu tentang fisik, ini lebih pada persoalan kata-kata. Hingga diumur 18 tahun barulah saya mendapati jawaban dan kebenaran akan skenario Allah. Bagaimanapun perjuangan orangtua memotivasi saya untuk mempertahankan nilai ujian Exact (IPA), tetap saja takkan melebihi kelebihan yang Allah sodorkan sejak awal, hanya saja saya terlambat menyadari. Dan memang benar, menjadi anak exact di masa SMA bukan sepenuhnya keinginan saya. Lebih kepada, cara saya membahagiakan kedua orangtua, juga inisiatif baik paman yang kebetulan adalah wakil kepala di Sekolah.
Memasuki masa peralihan remaja dan dewasa, masa dimana saya mengenyam pertama kali dunia kuliah dan ditakdirkan Allah sebagai anak Bahasa. Disini saya semakin paham, betapa luar biasa skenario dan rancangan Allah beserta tanda-tanda kekuasaannya. Maha sempurna! Tak perlu dielakkan, Gairah (Passion) saya sejak awal adalah persoalan kata-kata, merangkai kata, juga memaknai tiap digitnya. Kepekaan saya pada bahasa memang sudah disandingkan sejak saya lahir. Ini bukan kekurangan, ini jenis kelebihan yang tentu saja tak pernah salah, selama kita pandai memaknai, mensyukuri dan memaksimalkannya. Yang salah adalah ketika kita tidak bisa mengambil Hikmah dari apa saja yang sudah Allah gariskan untuk kita. Ayah dan ibu harusnya kala itu berbaik sangka pada penciptanya, tak perlu sedih atau bahkan merasa serba salah melihat jenis anak macam saya, yang rewel dan peka. Itu signal Allah, sebuah tanda dari yang kuasa. Dihadiahi anak yang peka terhadap cara-cara manusia mentransfer sudut pandangnya. Jangan salah kaprah! yang membuat peka itu tak harus soal kata, tapi tindak tanduk pun semisalnya.
Dalam dunia bahasa, dikenal teori tutur (oral language) dan tindak-tanduk (sign language). Bahasa tak melulu persoalan kata-kata, namun gerak-gerik oranglain pun bisa terbaca. Wajar saja, jika cara menatap seseorang yang begitu dalam mengenai retina mata mampu meletakkan kesan yang kurang nyaman atau bahkan begitu membahagiakan. Dari sini saya kembali lagi menyadari dan meningkatkan rasa syukur. Memaksimalkan apa yang telah Tuhan beri. Baik kelebihan ataupun kekurangan yang maknanya seringkali kita putar balikkan. Sebuah kelebihan yang mungkin kita sangkakan sebagai kesalahan atau bahkan malah dikira kekurangan. Bisa saja ini berlaku pada anak yang lain, tak hanya saya. Semoga kita lebih pandai membaca tingkah laku dan perkembangan anak sebelum menjastifikasi dan mengeluhkan kebiasaannya. Dekati dia, pelajari sifatnya dan arahkan passion-nya! Beruntungnya, orangtua saya bukan tipikal yang memaksakan anaknya harus masuk kedokteran ataupun jurusan exact yang jujur saja memusingkan kepala.
Meski pernah, satu momen ayah sangat ingin melihat anak perempuannya menjadi tenaga medis, mengarahkan ideologi anaknya mencintai mata pelajaran exact, sedang ia paham anaknya tak begitu suka. Nilai 100 di ujian akhir sekolah pun sekedar pengobat rasa khawatir agar tidak dianggap remeh-temeh, tak mampu. Itupun meraihnya perlu menunda tidur berhari-hari, di selah tugas sekolah yang terus saja menumpuk. Kantuk, tapi ditahan-tahan demi belajar keras untuk nilai KIMIA yang serasa kiamat. Gigi ngilu, minta dicabut saja saking tak kuasanya menahan sakit. Tentu kali ini penyebabnya klasik, sebab kurang tidur saja! Memorsir jadwal belajar hingga lupa jadwal lainnya, termasuk jadwal makan. Pun sudah beberapa hari tidak mengistirahatkan tubuh, ditambah lagi menunda-nunda waktu mandi. Toh.. jatohnya kan panas dalam.
Sederhana itu saya memaknai persoalan masa remaja, sebab masih takaran satu tingkat setelah memedebatkan soal matematika dan ejaan -mo-bil dan bi-moli di masa Sekolah Dasar. Ah sudahlah! I just need to emphasize that... banyak persoalan-persoalan di dunia namun tak mendapati jalan keluar karena kita keliru dalam komunikasi. Dari hal-hal sederhana hingga besar atau bahkan hal sederhana namun dibesar-besarkan. Semua tak terlepas dari bagaimana kita menyadari satu hal bahwa betapa pentingnya kita menjaga tutur maupun tindak kita. Tutur bisa saja lebih tajam dari silet, pisau.. hingga akhirnya melukai. Bahasa slank-nya "sakit tapi tidak berdarah". Ini terdengar lelucon kadang kala, tapi penting untuk kita garis bawahi, sebagai pengingat bahwa tak semua orang punya sifat dan kendali yang sama.
Mungkin pada orang-orang tertentu kita menganggap perkataan kita adalah anggapan (statement) biasa saja, tapi tak berlaku bagi orang berbeda. Bisa saja dari kata sederhana itu malah banyak menimbulkan perkara. Menyedihkan, menyesakkaan tapi kita tetap saja bertahan dan mengira itu sepele saja. Terlebih kekeh dan menjatuhkan anggapan baru "Ah... sensitif sekali. begitu saja na ambil hati. Begitu saja tersinggungmi.. begitu saja..." Dan jenis-jenis perkataan begitu saja yang menganggap lirih dan membenarkan tindak-tanduknya. Padahal tak semua hal bisa dianggap sama, karena tak semua orang mau memahami kepribadian kita seperti apa? Nah, dari sinilah makna dari transfer of meaning sangat penting untuk dijadikan proses kehati-hatian dalam meloloskan lisan.
Sebab... Your language is your identity!
Sebenarnya, bahasa adalah gambaran dari diri kita. Orang yang sangat mudah berbicara kotor, atau dengan mudahnya mengeluarkan kata-kata kasar atau bahkan sederhana saja seringkali menyinggung dengan pilihan kata yang tak tepat, adalah satu langkah menunjukkan identitas dirinya. Wajar saja, jika anak bahasa atau setidaknya (golongan) yang paham tata cara berbahasa lebih senang diam disaat sekelilingnya lebih banyak bicaranya (speak up), bukan berarti ia tak punya gagasan, tak punya ide, tak mampu berpendapat. Namun, lebih kepada menaruh energi dan substansinya untuk tidak memperkeru suasana. Mungkin mendengar lebih baik untuknya.
Di satu moment, Allah jatuhkan masalah beserta solusinya. Masih seumuran jagung sebagai mahasiswa, ayah akhirnya dengan berat hati melepaskan saya untuk kuliah di Luar kota. Tak begitu jauh dari tempat saya tinggal saat itu tapi cukup berat bagi orangtua yang pertama kali harus merelakan anak perempuannya tinggal sendiri tanpa didampingi ayah dan ibunya seperti sedia kala. Sempat rasa putus asa menghampiri, hingga dibuat rapuh sendiri. Kata ayah, tak usah kuliah! Atau kalau perlu kuliah disini saja, tak apa jurusan Bimbingan Konseling saja.
Tangis saya seketika pecah! Tentu ini keputusan sepihak dan begitu menyesakkan. Mengingat perjuangan yang sudah terlewat, dengan rentetan onak-duri yang harus dilalui. Sedetik saja harapan sirna! Tentu tak adil, sebab tak mudah menjalani hari-hari dengan pilihan sekolah favorit yang memorsir waktu istirahat dengan belajar sungguh-sungguh. Sedang anak sebaya kita, begitu bebas nongkrong di taman kota sesuka hati dan seluwes waktu yang dimilikinya. Ditambah lagi, teman kelas masa es em a kini telah disibukkan mengurus pendaftaran ulang kampus favoritnya. Sedang saya? masih berkutat pada pertanyaan lanjut studi dimana?
Alhamdulillah, tak bertahan lama setelah ayah paham betapa mimpi saya besar, keinginan saya melambung prasangkanya. Saya kekeh dengan meyakinkan ayah untuk tetap mendaftarkan diri di Universitas pilihan saya sendiri. Pelan-pelan proposal berterima, meski sempat membuat air mata ibu menitih kian kali. Kata ibu, "cukup kuliah saja disini tidak perlu jauh-jauh. Kalau terlalu jauh, nanti siapa yang jaga.. siapa yang bisa pastikan sehat-sehat saja, siapa yang bisa kontrol waktu makanmu, siapa yang bisa perhatikan waktu tidurmu.. " dan banyak lagi keresahan sederhana hingga ruwet seorang ibu. Terlebih saat ibu tahu, anaknya sudah diterima di Jurusan favoritnya, sangat jauh dari kota tempat ia tinggal hari ini. Sesaat kabar itu membahagiakan bagi gadis yang mendambakan Kuliah di School of Diplomacy dengan pilihan jurusan paling Populer, julukan Kampus Artis, kampus Luna Maya dan Rosiana Barbie. Tapi sebentar saja, tak lama setelah ibu menitihkan air mata lagi. "Untuk apa nak? Untuk apa jauh-jauh kalau bisa disini saja? atau paling tidak di Makassar saja."
Sampai akhirnya, ayah sendiri yang menjilat ludahnya sendiri. Mengerikan awalnya, sangat sulit meyakinkan orangtua bahwa anak gadisnya telah siap hidup mandiri. Lagi dan lagi, momok bagi diri sendiri untuk tidak memperkeru keadaan. Saat diberi lampu hijau studi di Makassar dengan catatan niat studi di Jakarta, harus diurungkan. Secepat kilat, harapan saya berbalik arah. Dengan sigap, lisan ini mengutarakan prospek baru kedepan, pun tentang harapan agar lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi pilihan sendiri kali ini. Alhamdulillah proposal kembali diterima. Pilihan jurusan pun disodorkan tanpa pikir panjang. Pilihan 1, 2, 3, dan rentetan uji peruntungan, tentu kali ini murni dari keinginan hati. At least, Allah mudahkan semua jalan, termasuk bonus pilihan-pilihan lain dengan jalur berbeda yang juga disodorkan ayah. Poltekkes kala itu, juga menjadi incaran empuk ayah. Sebab, ayah sejak awal menginginkan salahsatu diantara anaknya bekerja di Medis, namun coba-coba saja. Setidaknya ayah tahu bahwa anaknya mampu meloloskan dirinya pada perguruan tinggi pilihan ayahnya. Meski ayah telah paham, ini tak begitu diindahkan anaknya. Sebab saya tahu, sorot mata ayah akan begitu bahagia dengan kertas koran di tangan, melihat nama anaknya terpampang 'lolos' ujian masuk kampus kesehatan negeri yang diharapkannya. Selebihnya, siap-siap terblokir dari kampus yang baru saja melampirkan nama saya sebagai calon mahasiswa baru.
Meski diam-diam sejak lama, telah banyak usaha saya untuk meyakinkan ayah. Usaha untuk menunjukkan fakta kebencian terhadap obat-obatan dan berbau medis, aroma Rumah sakit yang kian kali meracuni isi kepala saat menghirupnya. Busuk, lebih busuk dari Carbon mono-oksida yang bertebaran di udara hingga merusak ozon. Pun pelan-pelan Allah beri jalan dengan sebuah kejadian yang tak pernah saya minta, namun sangat berefek pada perspektif ayah dalam menentukan pilihan masa depan bagi anaknya. Saya masuk Unit Gawat Darurat (UGD) hari itu, tepat saat memasuki gerbang Sekolah dan menunggangi sepeda motor. Tentu, pertanyaan yang muncul di benak penduduk sekolah yang menyaksikan insiden itu, "Tumben. bukannya Ige selalu diantar jemput ayah ke sekolah?" Kebetulan, beberapa hari terakhir saya telah kehilangan stok kepercayaan ayah karena persoalan sepele, dan buruknya saya harus menerima kenyataan untuk belajar mengendarai sepeda motor sendiri tanpa ditemani ayah hari itu. Terdengar buruk, tapi tak begitu memprihatinkan untuk tipikal kehidupan gadis macam saya, pasalnya saya adalah gadis yang terbiasa dengan didikan tegas seorang ayah. Kalau ayah sudah menjatuhkan anggapan 'A' maka keyakinannya tak pernah keliru! InsyaAllah itu langkah paling bijak yang tentu saja untuk mengajarkan anaknya makna hidup yang sebenarnya. Meski dalam kamus logika, persoalan kali ini tak begitu penting untuk disinggung, karena seharusnya masalah jenis ini sangat berterima oleh akal sehat, ayah saja yang terlalu memedebatkan. Cukup dengan menerima alasan yang diutarakan, dan bersiap untuk tak mengulanginya lagi. Se-simple itu mengatasinya, tapi.. lagi dan lagi ayah bukan tipikal sesederhana itu memberi efek jerah, meski ia tahu anaknya tak benar-benar keliru.
Ayah memberi kesempatan saya untuk berangkat ke sekolah sendiri, dengan teori belajar menunggangi sepeda motor paling sederhana dari kakak pertama, meski riwayatnya berakhir merobohkan pagar bambu milik tetangga. Sekarang terjadi lagi. Lebih dari yang didugakan sebelumnya, saya harus masuk UGD. Namun kejadian inilah yang berhasil mengubah perspektif ayah tentang sebuah pilihan hidup yang baik untuk anaknya. Harapan besar untuk studi di Prodi Kesehatan alhasil diurungkan pelan-pelan. Terketuk hati ayah melihat anaknya yang tak kuat minum obat dan tak kuat bertahan lama di ruang yang menambah sakitnya benturan kepala pasca kecelakaan saya hari itu. Bawaannya mual, dipikirnya karena efek terbentur setelah kecelakaan. Mungkin otak kecil saya sedikit gesrek, nyatanya karena tak kuat bau rumah sakit dan tak kuat aroma obat. Ya Lord! Setelah belasan tahun, ayah baru benar-benar paham.. anaknya sangat alergi dengan medis. Begitu kuat aroma obat-obatan berhasil membuktikan betapa seorang gadis yang malang ini merengek segera dikeluarkan dari ruang sempit dan menyesakkan itu. Pulang dan meminta rawat jalan. Alhamdulillah ayah semakin dibuat paham!
Memang benar, banyak masalah muncul dalam kehidupan bersumber dari komunikasi yang tak baik, terlebih memberi celah bagi (syaiton) untuk memengaruhi pola pikir kita, atau bahkan mengadu domba. Honestly, segala hal akan baik-baik saja jika kita pandai menggunakan lisan dengan baik, dan mampu men-transfer keinginan pun harapan-harapan dari makna yang kita lontarkan dengan tepat sasaran. Pun kali ini saya sepenuhnya mengaku dan sadar penuh adalah manusia yang berjuang memanusiakan diri sendiri, yang masih terus belajar dan masih saja kalap. Banyak persoalan yang hadir karena saya memilih diam dan tak meluruskan. Semua berdasar atas pemahaman yang sama:
Tak perlu menjelaskan detail tentang dirimu, sebab yang membencimu takkan pernah percaya dan yang menyukaimu tak butuh itu.
Trial and Error sudah kejadian kian kali. Membuat status di media sosial saja, banyak yang tak begitu mengindahkan kita. Terlebih jika postingan kita memenuhi beranda akunnya atau bahkan seperti status titik-titik di Whatsapp. Seperti geram, bahkan ingin menikam. Disini saya belajar untuk memilah-milah porsi status di media sosial yang layak dan sedikit berterima. Tak banyak mengunggah, harus ada scope atau batasan tiap harinya. Sedikit konyol, tapi setidaknya akan lebih bijak untuk kalangan yang tak begitu senang terhadap kita. Meski sebenarnya, menurut logika "tinggalkan apa yang menurutmu tak baik." jika postingan salahseorang membuatmu resah, yasudah... jangan berteman di media sosial atau paling tidak jangan membaca entri selanjutnya! Itu mungkin jauh lebih baik untukmu, namun tak begitu baik untuk kesehatan hatimu. Mengapa? Karena langkah yang baru saja kita ambil seakan memberi celah (syaiton) untuk beranggapan bahwa kita dan langkah yang kita ambil adalah telah benar, jauh lebih baik dari orang yang kita nilai lirih. Mengapa tidak menaikkan saja level sabar dan level berpikir positif terhadap oranglain (positive thinking)? Sulit memang, namun.. bukankah kita tak mampu mengatur hati dan pikiran oranglain dengan mengikuti pikiran kita? Setidaknya, kita paham bahwa kesanggupan kita adalah mengatur hati dan pikiran sendiri.
Note to my self: Mari menjadi baik tanpa menganggap diri jauh lebih baik."
Sebab, saat oranglain salah, tak berarti langkah kita telah benar.
Terlebih mencari-cari kejelekan oranglain. Cukuplah kita pandai
memaafkan diri sendiri dan memaafkan oranglain. Tetap fokus memperbaiki
diri, semoga sangkaan-sangkaan kita terhadap oranglain sebatas bisikan
(syaiton) dan tak berhasil menguasai hati, juga pikiran kita. InsyaAllah. Allahumma aamiin.
Komentar