Jam terus berlarian di tangan. Sekarang sudah pukul 17.30. Sebentar lagi matahari akan bersembunyi dan burung perkicau akan kembali ke peraduannya. Sementara aku masih saja menikmati tiap tegukan es kelapa muda buatan Daeng Sanrang. Penjual es kelapa muda di pinggir jalan Hertasning menuju kampus dua, Samata. Aku menganggap ini es kelapa muda terbaik. Mungkin saja seleraku yang terlalu rendah atau mungkin karena aku memang belum pernah mencoba mangkir di tempat lain. Sudahlah, tak ada waktu untuk sekedar membahas itu. Sekarang sudah pukul 17.45 sebentar lagi senja akan menutup tirainya. Mungkin lebih baik jika ku hentikan saja tegukanku. Tapi bagaimana dengan es kelapa muda yang baru saja ku pesan.
Igenaya
“Pesanan tadi dibungkus saja, Dek?”Aku masih kebingungan mencari jawaban tepat untuk pertanyaan sesederhana itu.
“Mau dibungkus atau dimakan disini?”Lagi-lagi dengan pertanyaan yang sama. Ia menatap dengan garis lurus, tepat mengenai retina mataku. Aku malah tidak nyaman. Sebentar lagi, akan ku jawab setelah ku temukan jawaban yang tepat. Sementara itu, biarkan saja ku pasang mimik tak peduli dan segera ku usaikan lamunanku.
“Tidak! Minum saja, Daeng!”Jawabku enteng. Seperti tersengat listrik. Bagaimana bisa aku memesan es kelapa muda untuk pemuda yang belum tentu sama memikirkanku. Ini sudah tergolong pembodohan terhadap diri sendiri bukan? Entah setan apa yang baru saja merasuki tubuhku. Aku merindukannya. Laki-laki yang mengaku jatuh cinta padaku. Menganggapku perempuan terindah setelah ibunya dan setelah katakan itu ia sendiri yang memperjelas kekeliruannya. Gadis yang dimaksudkan ternyata bukan aku. Ada gadis lain yang berhasil membuatnya jatuh hati, dia adik kelasku semasa es em a. Gadis macam apa dia? Bagaimana bisa ia datang mengusik hubungan kami yang terbilang muda. Bukankah ia sudah punya pacar? Dasar penggoda. Memang tak adil. Rasanya kau bengkokkan tulang rusukku, kau tekan urat nadiku, lalu seenaknya kau letuskan ratusan sel otak yang harusnya jadi cadangan otak sehatku. Kau pembunuh berdarah dingin. Sudahlah. Tak penting. Tak perlu memedebatkan itu. Itu masa silam, masa suram dan sekarang harus ku kubur dalam-dalam. ***
“Bakso keju pake mie satu. Bakso coklat ngga pake mie satu dan satu lagi dicampur bakso coklat dan keju, seperti biasa pake lombok tumis nah, Daeng!”Hari ini kau terlihat sangat siap dengan ajakanku. Traktiran gaji bulan keduaku. Sangat terlihat dari tarikan senyummu. Sangat jelas. Kau duduk tepat dihadapanku, lalu mencoba memainkan pandangan denganku. Aku sendiri menikmatinya. Layak pemuas dahaga, kau guyur pahit getirku dengan es kelapa muda kesukaanmu. Dan seperti kebiasaanmu, kau elakkan cappucino buatanku. Katanya kau tak suka minuman macam itu. Tapi sayang. Sekarang, aku melihatmu berdiri dalam bayangan kelam. Tidak seperti biasa. Kau semakin kurus jakung. Kaos berkerah yang kau kenakan tak lagi tampan dimataku. Biasa saja. Tentu akan berbeda saat ku katakan kau tetap tampan tanpa harus mandi dua kali sehari. Jelas itu hanya berlaku untuk seorang kekasih yang sedang dilanda kasmaran dan itu bukan aku.
“Maaf jika aku datang tanpa diundang.”Benar, awalnya aku hanya mengajak Esa, sahabatmu juga mata-mataku. Dia laki-laki tampan hebat pula. Ia yang sering mengabariku tentangmu disela kau yang jelas mau menghilang dari pandanganku. Lagi-lagi karena perempuan itu. Dan sekarang kau bilang kau tak ada hubungan apa-apa dengannya, tak ada perasaan yang berlebih? Mungkin setelah kau tau kecurigaanku benar, ia kekasih oranglain. Lantas dengan mudah kau tanyakan kesempatan kedua. Kau pikir aku perempuan macam apa? Aku bukan plestisin yang seenaknya kau lempar hingga penyot, lalu kau utuhkan kembali.
“Jika dipaksa jujur, sebenarnya aku masih menyukaimu.”
“Tak perlu memaksakan diri. Aku pun tak memaksamu. Dan benar-benar tak butuh pernyataan semacam itu.”
“Tapi bukankah kau masih suka padaku?”
“Sudahlah.”Cappucino lebih enak dinikmati pas hangat-hangatnya. Setelah dingin, tentu akan beda rasanya. Sama halnya perasaanku yang kau sia-siakan demi es kelapa muda yang kau pandangi di meja pengunjung lain. Kau ingin meraupnya, menikmati kesegarannya tapi ternyata milik oranglain. Lantas setelah dingin kau ingin menghangatkannya? Ah tidak. Tentu akan beda rasanya. Dalam diam harapan kujahit. Esok akan ku temukan lelaki yang lebih baik darimu, saat matahari terbit.
Igenaya
Komentar