Langsung ke konten utama

Asal Kau Tak Kehilangan Harapan

24 Januari 2017, kurang empat hari dari tanggal ulang tahunku, tapi rasanya seperti dapat surprise duluan.
Dua hari yang lalu, aku duduk dengan posisi kaki bersentuhan dengan tulang ekor dan menengadahkan wajah ke langit senja tepat di beranda rumah. Saat itu aku tak sendiri, ada ayah dan ibu yang begitu siap mendengarkan keluhanku. Mungkin air muka ku menyimpan kesedihan yang begitu mudah ditangkap mata. Hanya selang empat hari, setelah pamit ke kota Makassar untuk menghabiskan waktu berburu tanda tangan; rekomendasi dan surat keterangan berkelakuan baik di Fakultas tempatku menyelesaikan studi strata satu. Namun, aku memilih kembali ke kampung sesegera mungkin, sebab keraguan menggeluguti isi kepalaku. Mungkin satu alasan pastinya karena Krisis keuangan. Disatu sisi, aku begitu menggebu-gebu melanjutkan studi strata dua di kota sendiri, tapi di sisi lain aku sendiri tidak punya dana pribadi untuk melanjutkan studi dengan pembiayaan mandiri. Mengingat aku yang lahir dari keluarga yang sangat sederhana, ayah seorang guru SD dan ibu sejak dulu hanya ibu rumah tangga. Aku anak ke tiga yang masih dalam tanggungan, sedang adik ku kini berumur 17 tahun namun tidak tahu-menahu tentang dunia dimana ia berpijak. Telinganya seakan asesoris saja, mulutnya pun demikian, ia tak mampu mendengar dan tak juga mampu berbicara. Semua keluhan yang bersumber dari mulutku, tak pernah sampai di gendang telinga, terlebih lagi untuk memahami segala keluhanku. Sekaligus alasan utama mengapa ibu berhenti bekerja dan memilih merawatnya, terhitung semenjak adik bungsu lahir tanpa tangisnya. 

At least, aku harus meloloskan beberapa kata yang mengkhawatirkan, 20 % kesedihan, 40 % keraguan, dan 40 % keputusasaan. Bola mataku sejenak menitihkan glister dari sudut kelopak, sedang pikiranku seperti pusaran hitam gelap pekat, hampir saja kehilangan kesadaran. Tapi semua kekhawatiran berlarian pelan-pelan sembari ku ceritakan semua pada ibu. Wajar saja saat ini memikirkan studi S2 menjadi momok tersendiri, apalagi saat memutuskan untuk melanjutkan studi dengan pembiayaan mandiri, tanpa bantuan dari pihak pemberi beasiswa. Sedang ayah dan ibu baru saja menarik nafas panjang atas wisuda strata satu ku, di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Sekarang, aku disibukkan keinginan besar melanjutkan studi strata dua, di kota yang sama, Makassar. Meskipun awalnya aku bertekad untuk melanjutkan studi ke Luar Negeri dengan bantuan beasiswa, tapi kenyataannya beasiswa pun tak semudah menangkap ikan di sungai, menjaring dan syukur Alhamdulillah jika dapat sepuluh ekor. Tidak! Tidak semudah itu. Anggapan ayah pun tentang anak perempuannya telah jauh dari ekspektasi. Ayah ingin aku segera meraih gelar ‘S’ yang kedua kalinya, tanpa muluk-muluk. 

Di kepalanya, anak gadis tak boleh berlama-lama hanya dengan me-waqaf kan waktu mengejar sekolah tinggi. Anak gadis harus jeli memanfaatkan tiap detik dan inci waktunya, karena pada akhirnya anak gadis akan berganti gelar menjadi seorang ‘Ibu’ untuk suami dan anak-anaknya. Bukan berarti ayah adalah sosok yang buta pendidikan, sebaliknya! Ayah adalah duta pendidkan bagi anak-anaknya. Ia mendidikku dengan cara yang begitu langka, saat-saat ia melihat (aku) anaknya yang begitu aktif ikut kompetisi dan menghabiskan uang hanya sekedar pendaftaran/ seleksi, ia malah diam dan membiarkanku untuk usaha sendiri. Tapi itu tak membuatku berkecil hati, setidakya aku memiliki ibu yang rela miskin demi kompetisi yang ku nanti. Sejak duduk di bangku es de hingga toga strata satu bertengger di kepalaku. Entah, perampok jenis apa aku di kepalanya, yang hanya bisa melabuhkan keluh kesah padahal aku sendiri paham betul, ibu tak punya sumber penghasilan sendiri, kecuali dari ayah jua. Ah sudahlah. Hanya bisa bersembunyi dan meneteskan air mata pelan-pelan, setidaknya ada kekuatan setelah ku luapkan kesedihan.

 *** 


Sekarang saatnya menentukan pilihan. Melanjutkan studi magister di Universitas Negeri di kotaku atau berjuang tanpa kepastian untuk lanjut studi di Luar Negeri, seperti sahabat-sahabatku yang sekarang berjuang meraih skor IELTS nya. Tentu ini persoalan waktu dan finansial. Pertama, jika ku putuskan untuk ikut course pemantapan IELTS, tentu saja aku harus menyediakan budget yang tak sedikit dan bersabar meraih skor yang ku targetkan. Selanjutnya, apply di beberapa Universitas yang sudah masuk list tujuan studiku, tapi harap-harap cemas! Jika tidak diterima, maka Tuhan berkehendak lain akan skenarionya yang tak pernah salah. Kedua, aku harus memastikan kesanggupan ayah membayar SPP tiap semester sebesar 4.500.000 sedang saat ini masih proses mengumpulkan pundi-pundi uang, karena mimpinya membangun rumah tak kunjung kesampaian. Bukan karena tak punya hunian, tapi sesuatu dan lain hal menjadi alasan pasti untuk meninggalkan rumah dan kampung sendiri. 

Tapi aku tak ingin memedebatkan itu kali ini, karena ini persoalan tekad yang pasti. Aku harus memutuskan apakah aku mampu membiayai diri sendiri dan mendanai pendidikan dengan mandiri, bahkan tanpa campur tangan orangtua lagi? Tentu itu pilihan sulit. Berbeda dengan ibu, ia tak seperti biasanya yang selalu memberi jalan disaat langkahku terhenti karena mendapati kesulitan persoalan finansial. Entahlah, mungkin ibu mulai bosan, atau mungkin ibu sudah siuman dari rayuan hipnotisku. Ah, tidak! Selama ini ibu hanya pura-pura terhipnotis, karena ia masih punya daya untuk membantu. Sedangkan sekarang, persoalanku bukan hitungan ratusan ribu saja, butuh puluhan juta bahkan ratusan untuk selesai di garis finish pertarungan kedua. Kalau aku tidak sadar-sadar juga, tentu ibu akan pura-pura kaya. Melihat air mukaku yang kian membiru, ayah malah mencoba meyakinkan dengan nada yang menenangkan
“Daftar saja, nak! Batas pendaftaran juga tak mungkin menunggu. Persoalan SPP itu bukan masalah, itu hanya persoalan waktu. Bayar SPP bukan sekali sebulan, tapi hitungan semester! Percaya saja, pasti ada sendiri rezekinya.”
Benar! Hanya beberapa penggal kalimat, tapi mengangkat beberapa level semangat dan kepercayaan diriku, terima kasih teruntukmu ayah. Juga, terima kasih tak terhingga untukmu, ibu yang selalu mendukung tiap inci langkah anak gadis pemimpinya. Aku pun percaya, selalu ada doa yang teriring darimu, bukan finansial tapi dukungan terbesar yang bersumber dari dasar hatimu, I love you. *** Siang tadi. Wajahku terlipat seperti kain kusut yang bersembunyi di balik laci. Tak begitu nyaman, namun berusaha untuk ku sembunyikan. Aku seorang diri, mengendarai motor menuju salahsatu Bank di dalm kampus, niatnya jelas untuk membayar pendaftaran S2 Pascasarjana ***, tapi kesabaranku kembali diuji dengan rentetan antrean mahasiswa yang bernasib sama, hanya saja mereka ingin membayar SPP semester genapnya. Aku harus mengurung kesabaran hingga 30 antrean berikutnya, dan butuh waktu berjam-jam untuk menyanggupinya. Untung saja, ada beberapa yang tak sabaran dan memilih meninggalkan kursi antreannya. Itu artinya, promo khusus dijatuhkan untuk nasabah yang punya kesabaran lebih, termasuk aku yang sedari tadi menekuk dagu. Sampailah saatnya, antrean ke-270. Mataku sayup menatap gadis yang sedetik saja lalu mengajukan pertanyaan padaku “Maaf ada yang bisa saya bantu?” Secepat kilat pun ku jawab
“Iya mba, saya mau bayar pendaftaran S2 UNM!”
tangannya begitu gesit dan seketika saja mengulurkan selembar struk pembayaran, disertai nada lembutya
“500.000 ya mba!”
Belum sempat menyerahkan lima lembar uang merah, aku bahkan menunjukkan kebingungan “Lah.. saya kira satu juta lima ratus ribu, mba? Lah kok, cuman lima ratus ribu?” Sontak ia menjawab
“Pendaftaran, kan? Iya.. lima ratus ribu.”
Tatapannya pun disertai lirikan ke nasabah lain, tiba-tiba rasa bersalah merangkul. Ku pikir aku yang lupa-ingat, atau mungkin dia yang khilaf. Masih dikuasai kebingungan, antrean pun masih sibuk mengacak-acak suasana hatiku. Ku putuskan saja untuk keluar dari pintu bank, sejenak rehat dari penatnya pikiran, tapi lagi-lagi aku penasaran. Ku tarik file folder milik teman yang juga baru saja memenuhi pembayaran registrasinya. Sontak pun mataku melototi angka 1 yang diikuti angka lima dan lima angka 0 dibelakangnya. Ah, seperti ditabok kian kepalan. Mataku refleks memandangi angka jam yang berlarian di layar handphone. Sudah pukul 16.30 dan sudah lewat setengah jam dari ketentuan bank melayani nasabahnya. Pupus sudah harapanku, sekarang rasa ditabokinnya berubah seperti dirampok habis-habisan. Antara merelakan uang dan menggantungkan harapan di hari esok. Dengan langkah tertatih-tatih ku biarkan rasa bersalah menguasai pikiran dan perasaanku, minimal aku belajar banyak tentang ke hati-hatian hari ini. Pertama, setidaknya aku harus memastikan dulu nominal uang yang dibayarkan, sebelum bergegas ke bank. Kedua, jika keraguan bertengger di kepala, harusnya ku pertegas kembali kebenarannya, bukan malah pasrah dan beranjak begitu saja. 

Alhasil, harapan kembali ku jahit, semoga ada jalan keluar dari satu problem ini. Tentu saja, aku sangat menghargai angka lima yang berekorkan lima angka nol itu, bagaimana tidak, untuk meraihnya butuh 40 pertemuan dan 27.9 km jarak tempuh untuk pengajar baru upah rendah. Sesampai di rumah, ku keluhkan semuanya pada St. Nuraisyah Muflihah, gadis sebaya yang kusebut sahabat rasa saudara sendiri itu. Ku ceritakan kejadian yang menerpaku hingga sore ini. Setelah mendengar semuanya, ia tak menunggu lama bergegas mengganti baju dan mengajakku ke bank kampus, ia sangat yakin akan ada pemecahan masalah disana, meski ia juga sadar bahwa jam dinding sudah menunjukkan pukul 17.00 tak kurang, juga tak lebih. Harapanku seperti dijahit kembali olehnya, kecepatan motorku pun tak seperti biasanya, mungkin kisaran 60-80. Demikian sebab panggilanku berubah jadi ‘pacarnya rossi’ ujar Ica. Sesampai di bank, ku lihat terpampang jelas sign bertuliskan ‘tutup’. Untung saja, ada dua orang satpam yang asyik bercengkrama, awalnya aku ketakutan mengingat kasus yang booming akhir-akhir ini dipemberitaan, mengenai satpam yang membunuh gadis cantik. Rasa takut dan harapan besar bercampur aduk, langsung saja ku ceritakan. Beruntungnya, feedback nya sangat baik dan mereka memintaku masuk segera dan mengomunikasikan ke petugas yang ada. Sekilas seperti tersengat listrik
Maaf ya mba, saya salahpaham, kirain Pascasarjana UIN, bukan ya? Saya juga ngotot, waktu itu dan sekali lagi kami mohon maaf. Saya orang baru dan baru kali ini menangani pembayaran masuk Pascasarjanadisini. Terkait kesalahpahaman ini, kita komunikasikan secara pribadi, ya. Sembari saya minta solusi yang bagus dari pihak kami gimana.
Setelah perbincangan yang cukup lama, mereka memberi solusi untuk datang esok pagi, setidaknya cukup menambahkan sisa pembayaran dan menunggu pendaftar Pascasarjana UIN yang nantinya akan mengambil alih struknya. Perbincangan pun berakhir dengan tukar kontak handphone. Alhamdulillah, memang benar! Ketika kehilangan sesuatu, setidaknya kita tidak kehilangan harapan sepenuhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Baik

  Memilih milih teman itu boleh. Yang ngga boleh itu, memilih milih berbuat baik ke orang. Kenapa? Karena karaktermu bergantung dengan siapa lingkunganmu. Kalau bergaul dengan orang yang ngga bener, ya kecipratan juga ngga benernya. Kecuali kalau kamu udah bisa mastiin orang disekitarmu adalah orang yang baik. Dan akan memberi pengaruh baik. Atau, kamu udah bener-bener baik untuk menjadi orang yang berpengaruh baik di lingkunganmu. But, who knows? Kita manusia biasa, banyak khilafnya. Jadi, perlu ada batasan. Jangan semua dijadiin temen. Maaf. Saya berani bilang gini karena pengalaman yang mengajarkan. Bahwa ngga semua orang adalah baik dan memberi pengaruh baik untuk kita.  Jadi fokus saja berbuat baik semampunya, dan menjadi lebih baiklah dari hari hari sebelumnya.

Menikah Itu tentang Sebuah Keyakinan!

Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaykum warohmatullahi wabarokatuh. Pembaca. Semoga tulisan ini mendapati kita dalam keadaan baik, niat yang baik dan harapan-harapan hidup yang baik. Kodratnya, kita adalah pendosa dan tak ada satupun yang benar-benar baik diantara kita. Kalaupun ada diantara kita yang terlihat baik, maka yang terlihat hanyalah sebatas usaha kita menjadi lebih baik, bertaubat pada-Nya. Jadi, mari menjadi baik tanpa menganggap diri jauh lebih baik. Yang salah adalah jika kita tak pernah berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ini, terus berkutat pada anggapan yang sama 'langkahku adalah jauh lebih baik' sebab anggapan inilah yang pada akhirnya menyeret kita yang telah baik malah kembali pada cerminan tak baik. Jika kita pernah dibuat terluka oleh satu sayatan, maka biarkan sayatan demi sayatan berikutnya menutupi rasa sakit yang kita tanggung sendiri, seperti itulah pengaruh pikiran membawa kita pada alam di bawah sadar. Belajar untuk memaafkan dan terus m...

Tak Perlu Ada Iri Diantara Kita

  Hal yang paling melekat dalam diri manusia dan tak bisa lepas adalah rasa ingin lebih atau rasa tak puas diri. Sebenarnya hal ini bisa saja positif, namun tak banyak yang sanggup mengontrol ini dengan baik. Karena sejatinya, merasa puas itu tak baik jika porsinya terlalu. Mengapa? karena terlalu cepat puas menghadirkan energi negatif bagi diri sendiri; (1) merasa terlena dan tak ingin lagi melakukan hal lain, jatohnya malas, (2) menjadi bangga diri, memuji diri, besar kepala dan sedikit saja akan menampakkan kesombongan (3) tertinggal langkah yang lain, hingga usaha kita banyak terlampaui oranglain yang pada akhirnya melahirkan rasa iri di dalam hati (4) Menutup kesempatan untuk lebih mengembangkan potensi diri, sebab merasa cukup bisa saja membuat kita tidak bisa merambah ke bidang yang lain. N audzubillah mindzalik. Meski kita pun sama-sama paham bahwa rasa puas pun dibutuhkan untuk mengucap syukur atas apa yang Allah beri, pun bagian dari usaha berterima kasih p...