Langsung ke konten utama

Baik Buruk yang ditimpakan Semua Mengandung Kebaikan di dalamnya



“Barangsiapa yang Allah hendaki kebaikan, Allah menimpakan padanya musibah.” (HR: Bukhari).

Demikian pula para ulama salaf  telah menjelaskan hal ini, di antaranya Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dan Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi rahimahullah, yang merupakan seorang ulama hadits dan salah seorang dari Tabi’in. Imam Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah menuturkan dalam kitabnya yang indah Al-Wabilush Shayyib (hlm. 7), yang artinya:

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah membukakan untuknya pintu rendah diri, ketidakberdayaan, selalu memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan terus-menerus merasa butuh kepada-Nya. Ia menyadari aib-aib, kebodohan dan kezalimannya. Di samping itu, ia menyadari karunia, ihsan, rahmat, kedermawanan, kebaikan, kekayaan dan kedudukan yang terpuji dari Rabbnya. Maka orang yang mengenal (Allah) akan berjalan menuju kepada Allah dengan kedua sayap (sikap) ini. Dia tidak mampu berjalan kecuali dengan keduanya. Ketika salah satu dari keduanya hilang, maka dia bagaikan seekor burung yang kehilangan salah satu sayapnya.”

Di dalam dua kitab lainnya, yakni Al-Fawaid (hlm. 99) dan Thariqul Hijratain (hlm. 277),  beliau juga memberikan penjelasan mengenai hal ini, yang artinya:  “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia menjadikannya mengakui dosanya, menahan diri dari membicarakan dosa orang lain, dermawan dengan apa yang dia miliki, tidak menginginkan apa yang dimiliki orang lain, dan sabar menghadapi gangguan orang lain. Jika Allah menghendaki keburukan baginya, Dia memberikan kebalikan dari semua keadaan itu.’’

”Sesungguhnya jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Dia mencabut dari hatinya untuk memandang sempurna amal-amal shalihnya dan menceritakan amal-amal shalehnya kepada orang lain. Selain itu Allah menjadikannya sibuk memperhatikan dosanya.”

Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi rahimahullah berkata dalam kitabnya Shifatush Shafwah (2/78), yang artinya:  “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Allah menjadikannya memiliki tiga tabiat yang terpuji: paham dalam agama, zuhud terhadap dunia dan memperhatikan aib-aibnya.”

Tidak ada cela untuk berburuk sangka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Baik

  Memilih milih teman itu boleh. Yang ngga boleh itu, memilih milih berbuat baik ke orang. Kenapa? Karena karaktermu bergantung dengan siapa lingkunganmu. Kalau bergaul dengan orang yang ngga bener, ya kecipratan juga ngga benernya. Kecuali kalau kamu udah bisa mastiin orang disekitarmu adalah orang yang baik. Dan akan memberi pengaruh baik. Atau, kamu udah bener-bener baik untuk menjadi orang yang berpengaruh baik di lingkunganmu. But, who knows? Kita manusia biasa, banyak khilafnya. Jadi, perlu ada batasan. Jangan semua dijadiin temen. Maaf. Saya berani bilang gini karena pengalaman yang mengajarkan. Bahwa ngga semua orang adalah baik dan memberi pengaruh baik untuk kita.  Jadi fokus saja berbuat baik semampunya, dan menjadi lebih baiklah dari hari hari sebelumnya.

Menikah Itu tentang Sebuah Keyakinan!

Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaykum warohmatullahi wabarokatuh. Pembaca. Semoga tulisan ini mendapati kita dalam keadaan baik, niat yang baik dan harapan-harapan hidup yang baik. Kodratnya, kita adalah pendosa dan tak ada satupun yang benar-benar baik diantara kita. Kalaupun ada diantara kita yang terlihat baik, maka yang terlihat hanyalah sebatas usaha kita menjadi lebih baik, bertaubat pada-Nya. Jadi, mari menjadi baik tanpa menganggap diri jauh lebih baik. Yang salah adalah jika kita tak pernah berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ini, terus berkutat pada anggapan yang sama 'langkahku adalah jauh lebih baik' sebab anggapan inilah yang pada akhirnya menyeret kita yang telah baik malah kembali pada cerminan tak baik. Jika kita pernah dibuat terluka oleh satu sayatan, maka biarkan sayatan demi sayatan berikutnya menutupi rasa sakit yang kita tanggung sendiri, seperti itulah pengaruh pikiran membawa kita pada alam di bawah sadar. Belajar untuk memaafkan dan terus m...

Tak Perlu Ada Iri Diantara Kita

  Hal yang paling melekat dalam diri manusia dan tak bisa lepas adalah rasa ingin lebih atau rasa tak puas diri. Sebenarnya hal ini bisa saja positif, namun tak banyak yang sanggup mengontrol ini dengan baik. Karena sejatinya, merasa puas itu tak baik jika porsinya terlalu. Mengapa? karena terlalu cepat puas menghadirkan energi negatif bagi diri sendiri; (1) merasa terlena dan tak ingin lagi melakukan hal lain, jatohnya malas, (2) menjadi bangga diri, memuji diri, besar kepala dan sedikit saja akan menampakkan kesombongan (3) tertinggal langkah yang lain, hingga usaha kita banyak terlampaui oranglain yang pada akhirnya melahirkan rasa iri di dalam hati (4) Menutup kesempatan untuk lebih mengembangkan potensi diri, sebab merasa cukup bisa saja membuat kita tidak bisa merambah ke bidang yang lain. N audzubillah mindzalik. Meski kita pun sama-sama paham bahwa rasa puas pun dibutuhkan untuk mengucap syukur atas apa yang Allah beri, pun bagian dari usaha berterima kasih p...