Langsung ke konten utama

MEMAKNAI HIKMAH IED (IDUL) ADHA


Memasuki umur 8 tahun, saya masih ingat betul kala itu berhasil meletupkan tanya dari bibir pada ibu, yang lekat saya panggil 'mamak'.


"Mak, untuk apa orang potong sapi atau potong kambing kalau lebaran Idul Adha?"


Yang tentu saat itu, ikut hadir atau menyengaja berkunjung ke lokasi pemotongan hewan qurban seperti prestasi sendiri bagi anak seumuran kami. 


"Tawwa beraninya liat darah..." 


Sebatas itu penghargaan yang ditawarkan cuma-cuma dari kalangan dewasa. Namun dinilai luar biasa bagi (kami) yang baru saja duduk di Bangku es de.


Kata mamak, potong kambing atau potong sapi di Hari raya itu untuk berbagi daging ke masyarakat setempat biar semua orang bisa rasakan makan enak. Selanjutnya, pertanyaan baru bermunculan yang pada dasarnya sama, sama-sama mempertegas pertanyaan sebelumnya.


Dari pemahaman yang masih sangat dangkal ini, saya mencoba menarik beberapa kesimpulan bahwa memotong daging sapi atau kambing di Hari Raya adalah:

1) Momentum berbagi kepada sesama.

2) Menyisihkan sebagian harta untuk oranglain.

3) Tentunya makan enak lagi (Read: Coto, konro)


Memasuki tahapan-tahapan usia pendewasaan (quarter life crysis) dalam hidup. Pun saya mencoba menarik kesimpulan yang lebih komplek bahwa momentum hari raya ied/idul adha bukanlah sekedar perayaan namun penegasan tentang 'PENGORBANAN' dan 'KEIKHLASAN'. Berawal dari Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan anak yang sangat dicintainya, Nabi Ismail.


As-Saffat ayat 102:

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”


Sebagai sebuah ujian, akhirnya Allah Swt pun tidak membiarkan Nabi Ibrahim menyembelih putra kesayangannya itu. Ketika sudah bersiap dalam posisi penyembelihan, Allah Swt mengganti Ismail dengan seekor kambing dari Syurga.


Jelas dalam kisah ini Allah SWT tidak menginginkan Ibrahim menyembeli Ismail, hanya saja Allah meminta Nabi Ibrahim membunuh rasa 'KEPEMILIKAN' atas sesuatu yang ia miliki atau sayangi di dunia ini, selain Allah SWT. Nabi ibrahim adalah representatif tiap diri kita (manusia). Sedang Ismail boleh jadi harta kita, jabatan kita, gelar kita, keluarga kita, sahabat atau kekasih hidup kita. Ismail adalah ego dari apa yang kita miliki, kita sukai, kita sayangi dan kita jaga di muka bumi. 


Mengurbankan sebagian harta untuk kita bagi ke sesama inilah yang menumbuhkan keikhlasan dalam hati bahwa tak ada daya dan upaya, sebab dunia dan seisinya hanya milik Allah semata. Semua datang dari-Nya dan kembali pada-Nya. Semoga momentum Idul Adha ini, kita diberi kesehatan, serta semangat keikhlasan untuk senantiasa menebar banyak manfaat bagi sesama. Aamiin allahumma aamiin.


"SELAMAT IDUL ADHA. MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN."


@Igenaya 20 Juli 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Baik

  Memilih milih teman itu boleh. Yang ngga boleh itu, memilih milih berbuat baik ke orang. Kenapa? Karena karaktermu bergantung dengan siapa lingkunganmu. Kalau bergaul dengan orang yang ngga bener, ya kecipratan juga ngga benernya. Kecuali kalau kamu udah bisa mastiin orang disekitarmu adalah orang yang baik. Dan akan memberi pengaruh baik. Atau, kamu udah bener-bener baik untuk menjadi orang yang berpengaruh baik di lingkunganmu. But, who knows? Kita manusia biasa, banyak khilafnya. Jadi, perlu ada batasan. Jangan semua dijadiin temen. Maaf. Saya berani bilang gini karena pengalaman yang mengajarkan. Bahwa ngga semua orang adalah baik dan memberi pengaruh baik untuk kita.  Jadi fokus saja berbuat baik semampunya, dan menjadi lebih baiklah dari hari hari sebelumnya.

Menikah Itu tentang Sebuah Keyakinan!

Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaykum warohmatullahi wabarokatuh. Pembaca. Semoga tulisan ini mendapati kita dalam keadaan baik, niat yang baik dan harapan-harapan hidup yang baik. Kodratnya, kita adalah pendosa dan tak ada satupun yang benar-benar baik diantara kita. Kalaupun ada diantara kita yang terlihat baik, maka yang terlihat hanyalah sebatas usaha kita menjadi lebih baik, bertaubat pada-Nya. Jadi, mari menjadi baik tanpa menganggap diri jauh lebih baik. Yang salah adalah jika kita tak pernah berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ini, terus berkutat pada anggapan yang sama 'langkahku adalah jauh lebih baik' sebab anggapan inilah yang pada akhirnya menyeret kita yang telah baik malah kembali pada cerminan tak baik. Jika kita pernah dibuat terluka oleh satu sayatan, maka biarkan sayatan demi sayatan berikutnya menutupi rasa sakit yang kita tanggung sendiri, seperti itulah pengaruh pikiran membawa kita pada alam di bawah sadar. Belajar untuk memaafkan dan terus m...

Tak Perlu Ada Iri Diantara Kita

  Hal yang paling melekat dalam diri manusia dan tak bisa lepas adalah rasa ingin lebih atau rasa tak puas diri. Sebenarnya hal ini bisa saja positif, namun tak banyak yang sanggup mengontrol ini dengan baik. Karena sejatinya, merasa puas itu tak baik jika porsinya terlalu. Mengapa? karena terlalu cepat puas menghadirkan energi negatif bagi diri sendiri; (1) merasa terlena dan tak ingin lagi melakukan hal lain, jatohnya malas, (2) menjadi bangga diri, memuji diri, besar kepala dan sedikit saja akan menampakkan kesombongan (3) tertinggal langkah yang lain, hingga usaha kita banyak terlampaui oranglain yang pada akhirnya melahirkan rasa iri di dalam hati (4) Menutup kesempatan untuk lebih mengembangkan potensi diri, sebab merasa cukup bisa saja membuat kita tidak bisa merambah ke bidang yang lain. N audzubillah mindzalik. Meski kita pun sama-sama paham bahwa rasa puas pun dibutuhkan untuk mengucap syukur atas apa yang Allah beri, pun bagian dari usaha berterima kasih p...