Manusia adalah mahluk sosial yang hidup berdampingan dengan mahluk
lainnya. Saling menghormati, mendukung dan menghargai adalah kunci dari sebuah kerukunan dalam kehidupan. Hanya saja sebagian kita telah lupa satu hal lagi yang paling penting diantara ketiganya, yakni berbaik sangka pada oranglain, jika satu hal ini tak begitu tegas maka tak ada artinya ketiga hal itu. Ada sebagian orang yang begitu mengindahkan kata: Maaf, tolong dan terimakasih. Tiga kata ini adalah representatif formal yang secara langsung (direct) menunjukkan bahwa kita adalah mahluk sosial yang menghormati dan dihormati, mendukung dan didikung, serta menghargai dan dihargai. Sesederhana itu sebagian orang memaknai cara-cara hidup bersosial. Namun, tak sedikit pula jenis orang yang tak begitu luwes lidahnya mengucap 3 kata itu, (jarang) terucap bahkan terkesan ia tak mengindahkan oranglain, bukan berarti kenyataan demikian, bukan? boleh jadi ia lupa atau bahkan memang menyengaja tak mengucapnya sebab di kepalanya: 3 hal itu (kadang) tak perlu diucap namun ada hati yang mengumandangkan kian kali, sebab ia percaya bahwa ada Azza wa jalla yang akan membalasnya. Apakah kamu ada di level ini? Pun awalnya saya pribadi yang tak begitu percaya dua perbedaan ini ada, namun setelah berkaca pada diri sendiri lewat rentetan alur kehidupan yang saya sapa serta melihat bagaimana oranglain menyikapi hal ini, maka saya semakin sadar bahwa sebagian kita hanya menyadari dua hal saja "Ada jenis orang yang tahu diri dan jenis orang yang tak tahu diri". Sebatas itu orang-orang pahami. Boleh jadi, sebagian orang belum dan bahkan tak pernah mampu memahami satu jenis ini, pun mereka tak begitu peduli sebab baginya hidup adalah hanya perlu menjaga kemurnian jiwa. Ia tak begitu peduli bagaimana oranglain menilai sebab manusia hanya ciptaan, pemilik lirih dan lupa diri.
Hanya saja, dalam hidup pun ada jenis yang meletakkan penghargaan diri diatas segala-galanya, level berlebih, pun ia sangat berhati-hati karena ia punya referensi dimana ia merasa tak dihargai. Wajar saja jika sikapnya seperti diambang batas kehati-hatian, mungkin sudah kian kali bahkan tak terbilangkan lagi, dipatahkan hatinya dan dikecewakan kian kali atau boleh jadi karena bersumber dari diri sendiri atau pengalaman pribadi, ia pernah mematahkan dan ia pun pernah mengecewakan. Dari keadaan ini harusnya kita juga paham bahwa tak semua orang mau memahami kita, mengenal pribadi kita, dengan menempatkan dirinya pada posisi kita. Lantas bagaimana seharusnya menghadapi jenis yang terakhir ini? Maka jelaskanlah perkara yang ada jika kondisi tak demikian, niat yang tulus dan tidak memperkeru keadaan yang ada; jika tetap saja mendapati perlakuan yang tak diharapkan, maka kubur saja lah kenyataan dan kebenaran dalam-dalam karena memang ada jenis yang tak peduli akan itu. Menjelaskan bagaimana kamu tak akan berhasil masuk antena telinganya, ia terlanjur membencimu dan dikuasai hati dan pikirannya akan keburukan-keburukan saja tentangmu, itulah mengapa ia tak percaya itu. Sedang seyogyanya, yang mempercayaimu tentu takkan butuh itu. Meski memang benar, menghormati-mendukung-menghargai adalah 3 hal krusial dalam kehidupan, namun jangan sampai 3 hal ini mendapati porsi terbanyak atau telalu, sebab sedikit saja akan melahirkan pengharapan yang teramat sangat, lalu mencipta kekecewaan yang begitu membludak. Pernah atau bahkan seringkali? Pun saya sendiri pernah dan hingga hari ini masih terus berhati-hati akan ini. Terlalu berharap dihormati, terlalu berharap akan ditolong, terlalu berharap akan dihargai, dianggap dan jenis-jenis (di-lain)... yang menjangkiti diri. Jangan sampai hal ini terjadi pada kita. Boleh saja menerimanya, namun jangan pernah mengharapkan kehadirannya dengan porsi yang berlebih, sebab kebiasaan ini lah yang membinasakan diri sendiri. Itulah penting untuk kita garis-bawahi, cita-cita rukun tidak lepas dari pikiran dan perasaan. Dua hal ini wajib imbang untuk kita berhati-hati agar tak ada timpang tindih, lalu menyisakan sakit hati.
Saya pribadi awalnya tak begitu sering mengucap maaf lewat lidah, juga melontarkan terima kasih lewat lisan dan memohon bantuan lewat insan namun tak berarti hati saya tak tahu menyesali, tak tahu terima kasih, dan tak butuh bantuan oranglain. Bukan. Enam indera saya sering berbuat salah, namun memohon maaf jarang sekali terjadi, sebab bagi saya pribadi; seringkali mengucap kata 'maaf' seakan menghilangkan sakralnya penyesalan akan kesalahan, terlalu sering itu memuakkan. Memohon ampun pada ilah dan memperbanyak dzikir. Pun mengindahkan tangan diatas adalah tindakan yang paling utama dan diindahkan dalam kehidupan, bukan berarti saya jenis yang tak butuh oranglain. Mengapa demikian? Sebab semakin hari saya semakin yakin dengan banyaknya anggapan dan tanggapan yang tak mengenakkan. Banyaknya peristiwa yang dihadapkan membuat saya semakin paham bahwa mengharap dihargai, didukung, ditolong, dianggap dan jenis-jenis pengharapan berlebih lainnya hanya merusak kemurnian jiwa. Pernah suatu waktu, masih berumur jagung sebagai mahasiswa baru, namun telah terdaftar sebagai mahasiswa aktif akademik maupun non-akademik, baik aktivitas belajar dalam kelas maupun berorganisasi dan berkomunitas di luar. Masa-masa dimana lingkungan perkuliahan yang awalnya tak begitu tertata akhirnya mulai mendapati atmosfer dan lingkungan yang mendukung akan kegigihan saya mewujudkan harapan-harapan besar orangtua.
Masa kuliah, ragam pertemanan dan jenis pembawaan dihadapkan. Satu keadaan pun mendapati saya begitu akrab dengan satu gadis yang ragam aktivitas kami kurang lebih sama, didukung hobbi yang sama. Keadaan ini menjadikan kami seringkali duduk pada forum-forum yang sama. Akhirnya, kami sepakat untuk tinggal bersama. Lama kelamaan keadaan mendapati hal berbeda dari kepribadian kami, ia adalah jenis yang tak begitu pandai mempertimbangkan sesuatu, sedang saya sendiri adalah jenis yang memikirkan hal-hal sepele pun hingga jangkauan terjauh yang sebagian orang tak peduli akan itu. Kami sangatlah berbeda dalam hal ini. Dari perbedaan ini, seringkali menimbulkan perkara; dikecewakan-mengecewakan, diabaikan-mengabaikan, dan ragam (di-lain) yang bermunculan tanpa diminta. Untung saja, ini tak bertahan lama sebab saya bukan jenis yang senang memendam rasa dan membiarkan kekeliruan berlarut-larut dan menguasai pikiran dan hati. Jika saya telah dibuat paham akar permasalahan, tentu mendiamkan perkara bukan langkah tepat dari kian jenis persoalan yang ada. Maka dari itu penting untuk kita meletakkan ego dan mencari jalan keluarnya. Masa-masa mahasiswa baru strata satu ini, kami mencoba mengubah sudut pandang dengan menepis kepribadian yang ada. Saya yang penuh pertimbangan, harusnya menurunkan beberapa level dari kebiasaaan. Ia yang kurang sekali pertimbangan, harusnya menaikkan beberapa level dari biasanya. Dari sini kehidupan kami semakin tertata, saya mulai terbuka dengan jenis-jenis aktivitas di luar kampus yang membuka cakrawala, dan ia pun juga telah menyadari pentingnya mempertimbangkan segala hal dan tak menerima semua peluang begitu saja. Setelah ia paham, tubuhnya semakin kurus jakun dan jadwal kegiatan memorsir tenaga dan waktunya seperti bertubrukan sana-sini. Pun sebagai teman yang peduli, wajar jika saya dibuat risih dengan jadwal yang ia seringkali tak sadari; jam sembilan pagi di kampus satu dan sembilan pagi pula di kampus dua, bahkan ia pun lupa telah membuat janji juga sebelumnya. Jika sebagai teman kau tak geram, tentu ini perlu dipertanyakan!
Kedekatan kami semakin hari semakin erat saja, bahkan serasa lebih dari saudara. Bagaimana saya memperlakukannya, juga balasan perlakuannya terhadap saya seperti menutup cela bagi kami berburuk sangka. Pernah satu keadaan mengharuskan saya ikut kompetisi sebagai duta kampus sedang saya tak pernah mendaftarkan diri, panitia menghubungi saya dengan nada begitu yakin dan barulah dibuat sadar setelah ia lontarkan kejujuran; ia mengisi formulir atas nama saya. Seperti kiamat di depan mata, saya yang tak begitu percaya diri saat itu tiba-tiba saja dihadapkan keadaan yang tak pernah terbayangkan. Namun dari sini saya harus berbaik sangka, dengan mengambil kesempatan dan membuktikan bahwa saya bisa diandalkan. Betapa niat baik teman saya mempersiapkan segala hal dan didukung bantuan keluarga dengan mengirim sms dukungan, juga menyiapkan pakaian yang bagus untuk digunakan jika saja mendapat kesempatan berdiri di panggung Grand Final. MasyaAllah kesempatan itu dalam genggaman, pun dengan sigap pula saya menerima bantuan dari segala penjuru. Teman kelas yang begitu antusias, bahkan rela meningglkan jam kuliah demi memberi dukungan dan berbondong-bondong menghadiri Grand Final yang dihadiri ribuan kepala yang menyaksikan. Disini, saya ambil Hikmahnya lagi betapa berbaik-sangka membuat level kepercayaan saya naik lagi.
Semoga niat baikmu dibalas Jazakillah khoiron ya bebh!
Di lain kondisi, kesempatan yang mengejutkan datang tanpa direncana. Saya yang begitu aktif-aktifnya mengikuti program-program kepemudaan baik lokal maupun nasional, malah mendapati nama yang begitu familiar di deretan daftar nama terpilih mewakili daerah masing-masing. Awalnya tak begitu yakin Hikmawati dan Nurul Suciana Adam terpampang nyata sebagai perwakilan Sulawesi Selatan dalam forum kepemudaan di Bangka Belitung. Tak terbayangkan sama sekali, pun baru benar-benar yakin setelah kami memperjelas email masuk satu sama lain. Kami tak pernah sepakat mendaftar sama-sama, hanya coba-coba mengirimkan essai saja, ia pun demikian dan ini menakjubkan. Hanya saja, program ini tak ada pembiayaan penuh, kita butuh bantuan kampus dan usaha lain untuk mengumpulkan dana akomodasi dan transportasi. Sempat kehabisan ide dan tak tahu harus mencari bantuan dana tambahan dari mana. Bahkan sempat terpikirkan otak jeli Suci, menjual barang berharga yang kita punya atau meminjam uang saja. Ini terdengar menyedihkan, karena saya pribadi hanya punya laptop dan hardisk yang tentu saja sudah seperti kekasih bagi saya. Tentu saya menolak habis-habisan, pun ia sendiri pun keberatan namun seperti kehilangan akal. Lalu ia ulang-ulang ajakan pinjaman uang dari sepupu yang paling ia percaya dan punya kemampuan lebih ukuran finansial. Sialnya, saya lagi-lagi tak mengindahkannya. Didikan ayah sejak kecil begitu tegas persoalan ini, ibu saja yang berhutang dua ribu rupiah di warung dekat rumah serasa neraka jika ayah tahu, ujung-ujungnya saya yang kena batunya. Saya suka nebeng jajan coki-coki, sedang ibu selalu bawa uang pas. Ayah sendiri tidak mengindahkan berhutang, kecuali keadaan sangat mendesak. Di kepalanya, membeli coki-coki bukan hal urgen, bisa ditepis dulu dan pulang ke rumah dulu dan mengambil uang dua ribu. Panjang kali lebar jika ayah yang mendapati, itulah saya sangat berhati-hati melangkah sebelum keadaan yang mengharuskan saya meminta maaf.
Kembali lagi mengenai solusi. Saya tak mengindahkan pinjaman namun mengindahkan usaha yang total dengan mengunjungi rektor-wakil rektor, dekan-wakil dekan, kepala prodi- sekertaris prodi, mengikuti anjuran birokrasi kala itu. Meski harus meletakkan urat malu, sebab tak sedikit keadaan yang kami hadapi seperti diremehkan padahal tujuan kami adalah mengharumkan nama kampus. Sedih memang, bahkan seperti ingin putus asa saja dan mengundurkan niat baik sebab yang kita perjuangkan seperti tak diindahkan pihak kampus kala itu. Terlebih waktu tersisa tinggal sehari lagi, besoknya sudah harus ada tiket penerbangan di tangan. Tentu ini semakin menyedihkan. Harapan yang kami jahit untuk sama-sama berjuang mengharumkan nama kampus dan menaikkan level kepercayaan diri dengan berbaur dengan ragam mahasiswa dari segala penjuru Indonesia, sedikit lagi di depan mata. Akhirnya tertumpahkan juga kegelisahan saya dengan melontarkan kekesalan pada pihak kampus pada Professor tempat saya mengabdikan diri, memanfaatkan posisi saya sebagai Asisten dosen beliau kala itu. Alasannya, saya tak punya jalan lain untuk mendapat bantuan sesegera mungkin dari pihak kampus, kecuali jika ada lisan yang mudah didengar pihak birokrasi. Setelah beliau tahu keadaan saya, akhirnya ia hentikan segala jenis pekerjaannya dan meluangkan waktu menemui bendahara keuangan kampus. Alhamdulillah mendapati angin segar, setidaknya dana yang biasanya cair minimal seminggu akhirnya dicairkan hari itu juga. Alhamdulillah ini menakjubkan. Meski tetap saja harap-harap cemas. Setelah kami hitung-hitung lagi berdasar kebutuhan, tetap saja jumlah dana tak mencukupi untuk kami gunakan berdua sepanjang acara. Di tambah lagi, perkara baru dan tak disangka-sangka semakin ruwet dan menambah porsi beban di kepala. Sedangkan waktu bergulir terus hingga menunjukkan pukul 01.00 sebentar lagi memasuki waktu subuh. Pilihannya hanya satu, harus ada satu diantara kami yang berbesar hati dan merelakan diri tak ikut program ini. Jika tidak, kecewa akan berlipat ganda. Kampus telah memercayai kita dan kita telah kehilangan kepercayaan diri.
Ditambah lagi, saya kurang nyaman pada paman dan bibi sebab keadaan ini yang juga mengharuskan kami keluar dan mencari ATM Center untuk mentransfer biaya tiket penerbangan pagi-pagi buta. Untung saja, bibi dan paman tahu bahwa saya sedang ada program yang mengharuskan kami mengurus persiapan ini itu sebelum pemberangkatan esok pagi. Tapi tetap saja, bibi tak menyangka bahwa hanya satu diantara kami yang berangkat pada akhirnya. Pun saya tak ingin menjelaskan lebih jauh mengapa dan bagaimana sebab saya telah mewakafkannya sebagai balasan kebaikan seorang teman di masa lalu yang begitu tulus. Meski satu program itu telah masuk satu daftar list capaian tahunan, tetap saja berlarut-larut dalam kecewa bukan hobbi saya. Pengharapan pada diri sendiri sekarang beralih teman, melihat usahanya mengharumkan nama baik kampus, lalu mendoakannya agar kembali selamat dan membagi pengalaman berharga untuk ia bagikan dan ceritakan kembali. Bagaimana pun yang memberikan adalah Allah dan yang mengambilnya pun adalah Allah. Jika sempat ada pengharapan dan sedikit kekecewaan, saya rasa ini hanya jenis pembelajaran sebab Allah menghadiahi program yang jauh lebih menakjubkan di tahun-tahun berikutnya. Tahun selanjutnya Allah beri kesempatan mengikuti Program paling bergengsi untuk kelas departemen saya. Program pelatihan bagi para pengajar bahasa Inggris dalam mengembangkan kapasitas dan profesionalitas nya. Program yang diselenggarakan oleh Kedutaan Amerika dengan menghadirkan fasilitator dari Amerika serta bekerjasama dengan mentor bahasa dari Universitas Indonesia. Ini pengalaman paling hebat dalam tangga kehidupan yang Allah hadapkan dimana kepercayaan diri yang level jongkok akhirnya drastis berubah karena banyak hal yang menakjubkan yang tak saya sadari dari dalam diri betapa saya juga punya kelebihan yang Alhamdulillah begitu dihargai pada program ini. Alhamdulillah. Lagi dan lagi saya hanya perlu berbaik sangka pada siapa saja, memperbanyak rasa syukur dan menempatkan penghargaan diri sewajarnya, terlebih banyak berterima kasih pada pembuat skenario kehidupan saya.
Semakin hari semakin jelas terasa. Betapa rasa syukur membuat hidup terasa penuh makna. Keajaiban-keajaiban terus berdatangan, bertubi-tubi tanpa henti. MasyaAllah... Allah maha baik memang! Tak perlu berlarut-larut dalam kekecewaan asal kita percaya bahwa ada Allah yang siap menggantikan kebaikan menjadi kebaikan yang lebih bermakna. InsyaAllah. Tahun ke tahun waktu silih berganti, Allah hadapkan lagi dengan program-program pendanaan penuh (fully funded program) yang jauh lebih menakjubkan lagi. Serasa membendung air mata haru biru kian kali. MasyaAllah.. alhamdulillah.. allahu akbar. Pun dari kejadian demi kejadian yang Allah hadapkan berikutnya, akhirnya saya sadar penuh untuk meletakkan sangkaan baik pada siapa saja, dari ragam jenis perlakuan tak nyaman orang-orang. Mulai dari dianggap lirih, dibentak tanpa alasan mendasar, dicemooh, dicibir, digunjing, bahkan difitnah sekalipun. Alasannya tetap sama, ini persoalan komunikasi. Namun tak semua orang mengambil jalan dengan menjelaskan bagaimana keadaan dan bagaimana kepribadiannya, pun tak semua orang mau paham akan ini. Lalu meletakkan prasangka baik saja sebagai obat dari pengharapan yang berlebih. Dari sini pun saya menggaris bawahi; Jika ada yang menganggap bahwa menjaga silaturrahim itu adalah tatap muka secara intensif, maka itu tak sepenuhnya benar. Sebab sebagian orang ada yang lebih memilih menjaga prasangka baik pada saudaranya, baik saudara angkat, saudara kandung, saudara seiman ataupun saudara kaum Adam-Hawa. Mengapa demikian? karena setiap orang punya 24 jam yang sama namun kewajiban dan aktivitas-aktivitas yang berbeda, dan takdir yang dijatuhkan pun berbeda. Sebagian orang nampak tak senang berbaur dengan oranglain, tak senang! padahal itu hanya tampakan saja. Kenyataannya, ia sangat ingin ikut serta namun ia tak punya daya dan upaya karena waktunya telah dirampok prioritas lain. Lagi dan lagi, saling menghargai itu penting. Pun telah banyak kejadian, dimana berburuk sangka adalah tindakan paling empuk menghadapi kejadian demi kejadian. Oleh itu mari sama-sama memperbaiki sangkaan:
"Carilah 1000 Alasan untuk tetap Berbaik Sangka! setidaknya 1 alasan saja untuk kita merawat hati agar tak terluka."
Menganggap oranglain sombong padahal keadaan tak begitu. Setidaknya kita punya alsan-alasan untuk tetap berbaik sangka, sama seperti cara kita berbaik sangka pada takdir yang Allah hadapkan tiap harinya, tiap menit bahkan tiap detiknya (1) Mungkin ia sedang banyak pikiran (2) Mungkin ia lagi sibuk (3) Mungkin saja ia punya alasan sendiridan tak perlu ia jelaskan. Saya pribadi pun pernah berburuk sangka pada oranglain dengan alasan tak mendasar, seseorang memblokir di sosial media sedang saya merasa tak pernah membuat onar ataupun membuat perkara apapun dengannya. Lagi-lagi saya harus berusaha untuk mencari alasan tepat untuk berbaik sangka. Dari sini saya coba introspeksi diri dengan meletakkan diri sebagai orang yang mem-blokir. Meletakkan kesalahpahaman dari kepala sendiri dan beranggapan bahwa mungkin saja ia sedang mem-filter dunia sosial medianya. Memang ada beberapa orang yang lebih senang berkomunikasi dengan orang-orang tertentu saja via sosial media, melihat kondisi dimana banyak orang yang tak begitu aktif berkomunikasi sedang ia sudah berteman lama di media sosial. Baginya, hal sia-sia berteman sedang tak aktif berkomunikasi. Tentu setelah dibuat paham, saya harus meletakkan penghargaan dan membiarkan tetap terjadi jika ia kekeh dan tak mau menerima pertemanan sosial media lagi. Tak apa, semoga Allah yang mendekatkan hati kita. Juga, pernah difitnah pacaran dengan kekasih oranglain padahal kenal saja tidak, tentu ini kenyataan menggilakan bukan? Lagi dan lagi saya berusaha meletakkan diri lagi sebagai orang yang memfitnah, mungkin kecemburuannya yang berlebihan membuat isi hati dan kepalanya dikuasai roh jahat. Pernah pula, dianggap tak tahu terima kasih, sedang ia lupa bahwa cara-cara orang berbeda-beda dalam berterima kasih, ada yang mengucap dengan lisannya, ada pula yang mengucap lewat do'a nya dengan harapan Allah Azza wa jallah lah yang paling pantas membalasnya. Meski sebaiknya, mengucap dengan lisan pun tetap diperlukan, sebab kita punya lidah dan oranglain punya telinga. Jika tidak dimanfaatkan, serasa ada yang kurang rasanya. Lagi dan lagi berprasangka baik amat diperlukan.
Beberapa
orang tidak senang menampakkan kebaikannya pada oranglain. Bukan
berarti ia tidak suka berbuat baik, ia lebih senang mengubur kebaikannya
karena itu harta paling berharga yang ia miliki dan bukan milik
oranglain. Pernah pula, seorang teman bercerita bahwa atasannya tidak memberi kepercayaan pada satu proyek dan menggembor-gemborkan kejelekan-kejelekan atasan dengan menganggap orang yang diberi amanah adalah orang yang disukai atasannya. Ini terdengar lucu, namun mengerikan jika saya ikut percaya. Padahal kita bisa mencari alasan lain untuk tetap berbaik sangka; (1)
Mungkin karena projek menyesuaikan latarbelakang bidang pendidikan atau
pembagian beban kerja, takutnya malah terbebani saat menjalaninya. (2) Atasan sudah menyiapkan tugas lain yang sesuai bidang masing-masing. (3) Ada yang berpotensi dan tidak ingin mengganggu gugat pekerjaan yang sudah membuatmu nyaman. Sesederhana itu, asal kita mau menerimanya dengan lapang. Pun pada kondisi berbeda, seorang teman bercerita bahwa seseorang menganggapnya cari-cari muka pada atasan, sedang orang ini pun tak sadar bahwa anggapan dan cara-caranya lah yang membuat ia nampak bermuka dua. Bagaimana bisa seorang rekan kerja menceritakan hal-hal yang bersifat sangkaan pada rekan kerja yang lain dengan nada menuduh? Astagfirullah... semoga Allah kembalikan kita pada jalan yang benar, dengan terus berprasangka baik pada sesama, agar tak ada kata dusta yang mencipta luka. Agar hubungan ukhuwah islamiyah kita tetap terjaga dengan baik, tentu salah
satu sifat positif yang harus dilakukan adalah husnuzh-zhan atau berbaik
sangka. Karena itulah, jika kita mendengar hal-hal
yang buruk terhadap saudara sesama muslim sebaiknya kita tabayyun
(pengecekan) terlebih dahulu sebelum mempercayai apalagi meresponnya
secara negatif. Allah SWT, berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu. (QS. Al-Hujurat Ayat 6)
Begitupun cara kita berbaik sangka pada pencipta, dengan bertadabbur bahwa segala yang Allah timpakan selalu ada jalan baik untuk kita, menaikkan level keimanan kita atau menaikkan level pencapaian kita di dunia. Semua punya alasan baik, InsyaAllah. Pun baru-baru ini sejak saya meluruskan niat menemani suami di Perantauan. Sudah satu semester tidak mengambil jam ngajar setelah menuntaskan kontrak ngajar di Universitas. Sempat merasa berat, namun Allah menguatkan dengan kemampuan yang Allah beri dari kian lika-liku pengalaman selama kuliah. Menerima terjemaham Bahasa Inggris, membuka toko muslim online dan mengembangkan channel Youtube masak, meski masih status terus belajar. Pun kabar baiknya lagi, Allah beri kesempatan lagi untuk membagi ilmu di Universitas dan tak harus tatap muka offline. Cukup via online saja, MasyaAllah... tabarakallah. Semakin kuat prasangka baik ini padamu ya Allah. Semoga kedepan Allah kuatkan iman kita akan takdir yang Allah jatuhkan, serta banyak kebaikan-kebaikan dalam hidup yang didatangkan. Sekalipun wujudnya cemooh, gunjingan, ambil baiknya lalu buang buruknya. Jika ada benih-benih perasaan berburuk sangka di dalam hati, maka segera berantas dan jauhi karena hal itu bersumber dari
godaan setan yang bermaksud buruk kepada kita. Yang paling utama dan
penting, harus terus memperkuat jalinan persaudaraan antar sesama Muslim,
agar yang selalu kita kembangkan adalah berbaik sangka, bukan malah
berburuk sangka (suudzon). Pun sebuah pesan dari Khalifah Umar bin Khattab r.a:
"Janganlah kamu menyangkal dengan satu kata pun yang keluar dari seorang
saudaramu yang mukmin kecuali dengan kebaikan yang engkau dapatkan bahwa
kata-kata itu mengandung kebaikan."
Penting untuk kita ingat untuk berhati-hati pada pikiran karena dari pikiran lahir perkataan. Perkataan yang baik menghadirkan tindakan yang baik pula. Lalu ia akan menjadi kebiasaan yang nantinya akan menjadi karakter. Jika karakter ini baik, maka mengikut takdir yang baik pula. InsyaAllah. Mari mensyukuri apa yang Allah gariskan sebagai takdir kita, juga menghargai apa yang menjadi takdir oranglain. Ingat, kita punya 24 jam yang sama, namun prioritas masing-masing yang berbeda. Sama-samalah bekerja untuk urusan pribadi dan bekerjasama lah untuk kebaikan bersama. Pun jika tidak bisa dilakukan bersama maka jemputlah masing-masing kebaikan yang sama, jangan paksakan keadaan yang ada. Selanjutnya, melupakan kekecewaan dan kesalahan-kesalahan yang ada, sengaja maupun tak sengaja semua telah menjadi takdir yang digariskan Allah. Bagaimanapun saat oranglain punya kekurangan, bukan berarti kita telah sempurna. Maka kuburlah keburukan oranglain di kepala, sebab saat oranglain salah tak berarti kita telah benar. Simpan kesalahan dan kebaikan oranglain rapat-rapat, menilai baik-buruknya bukan tugas kita, itu tugas malaikat kanan-kiri kita. Jika kita menghakiminya dengan mulut kita, itu artinya kita tak ada bedanya dengan yang lain. Pun menghakiminya di dunia bukan saatnya, tunggulah di akhirat kelak, jangan kita. Allah maha adil, kita hanya perlu memperbaiki sangkaan terus-menerus untuk merawat hati dan pikiran kita. InsyaAllah. Semoga kedepan, Allah bukakan jalan kebaikan-kebaikan untuk kita lebih baik dalam mengambil langkah yang tepat dalam kehidupan. Lebih pandai lagi merawat hati dengan memperbanyak sangkaan-sangkaan baik (husnudzon) saja. Allahumma aamiin.
Note: Dear pembaca setia, jika saya tak lagi memosting entri blog. Jangan suudzon, ya! Ada prioritas lain, see you when I see you! Wassalam.
Komentar