Langsung ke konten utama

Memaknai Quarter Life Crisis

Saya begitu yakin, setiap pribadi manusia pasti pernah mengalami. Ada momen dimana mereka semangat-semangatnya mencari, semangat semangatnya memperjuangkan, semangat semangatnya menapaki level kesuksesan masing-masing. Namun, di sebuah titik tertentu dimana harapan, dan pencapaian telah di puncak, atau bahkan sedikit lagi mencapai puncak, malah pelan-pelan dengan sendiri menyeret kakinya dan beranjak untuk kembali. Turun dari puncak, memutar balik arah dan kembali pada titik yang sama, nol. Perjuangan dimulai kembali, perjuangan diusung kembali dengan energi dan substansi yang berbeda namun tetap ke puncak lagi. Bedanya, puncak yang ditapaki adalah puncak yang sesungguhnya, dimana harapan dan segala pencapaian luruh atas tujuan yang abadi.


Memasuki seperempat abad, seperempat perkiraan umur rata-rata kehidupan manusia. Saya seperti menjilat ludah sendiri. Harapan yang pernah dijahit dan hampir saja kelar, seketika terhenti. Tak lagi muluk-muluk, mimpi untuk melanjutkan studi strata dua di Benua biru, kini sekedar harap, sebab hati yang pernah bergumam 'STUDY ABROAD BEFORE 25th" pada akhirnya merubuhkan sendiri asa-nya. Semua terjadi tidak dengan begitu saja, tidak kebetulan namun ada satu titik dimana rentetan tanya menjadi momentum besar untuk diperhitungkan dan menunggu jawaban pasti. 2016 tepatnya, dimana kian jenis kenikmatan dan pujian berlabuh pada sosok yang menamai dirinya @Igenaya sedang nama yang begitu indah dan sarat makna telah disematkan sesaat sebelum ia lahir dan baru ketahuan setelah akun facebooknya bernama Hikmawati dibobol netizen.


Kala itu, tepat setelah menuntaskan studi strata satu di Kampus hijau Indonesia Timur, lalu dihadiahi liburan untuk mengikuti Program musim Panas, short course yang tentunya juga dipenuhi perjuangan-perjuangan yang juga tak biasa. Akhirnya sejenak berhenti dan melabuhkan pertanyaan demi pertanyaan di Kepala. Kurang lebih seperti ini (1) Amalan apa yang telah saya perbuat hingga detik ini? (2) Pencapaian jenis apa yang telah saya raih untuk dikatakan bernilai hingga hari ini? dan (3) bagaimana cara saya memaknai sisa usia kedepan?

Sederhananya, tiga poin pertanyaan itu lah yang mendatangkan pertanyaan-pertanyaan baru yang juga mendesak untuk dijawab. Misalnya, tentang apakah saya telah benar-benar berada di lintasan yang benar, atau saya masih berada pada titik yang sama buruknya dengan hari-hari kemarin. Apakah langkah yang saya tapaki telah benar dan bernilai? ataukah masih saja berputar-putar pada pusaran gelap yang sama. Selanjutnya, apakah saya telah benar-benar baik untuk dikatakan bijak baik tutur maupun tindak? Dari kian tanya itulah lahir kembali pertanyaan pertanyaan sederhana yang bersifat membanding-bandingkan.


Misalnya, (1) Kok.. temen-temenku udah pada stay at home dan mengurus anak, aku malah nongki-nongki kayak anak-anak? (2) Kok.. temen-temenku udah pada kerja, aku masih nge-volunteer aja sih? (3) dan jenis-jenis kok... yang bersifat membanding-bandingkan kehidupan diri sendiri dengan apa yang oranglain telah capai, yang pada dasarnya bergantung dari situasi dan kondisi masa-masa itu. Namun saya memaknai momentum ini adalah momentum dimana saya harus merubah haluan hidup yang seharusnya, sebagai titik introspeksi diri dan memperbaiki langkah kedepan. Terngiang jelas kala itu, saya sendiri mempertanyakan perihal makna perjalanan studi, terlebih melanjutkan studi strata dua di negeri sendiri atau memperjuangkan hal yang tak bisa diprediksi. Tentu tujuan saya selalu sama, memperjelas makna perempuan.


Satu titik ini begitu crysis. Saya yang baru saja kembali dari Benua biru pada program short course, telah mencicipi atmosfer yang begitu memanjakan dan kenikmatan cakrawala intelektual dari puluhan mahasiswa pilihan dari belasan negara pendatang di belahan dunia, Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa. Sebuah kesempatan yang menakjubkan, duduk dan berdiskusi dengan mahasiswa internasional didampingi para professor dari negara asalnya, termasuk saya. Sedikit lagi padahal, tinggal berjuang satu langkah. Kesempatan demi kesempatan mulai terbuka lebar, impian untuk melanjutkan studi strata dua di Jerman pun mendapati respon positif dari salahseorang Professor dari negeri Hitler itu. Ia bisikkan peluang dan jalan melanjutkan studi melalui rekomendasinya. Sempat bahagia ketulungan, tapi tak bertahan lama. Seketika saja sirna, usai berdiskusi panjang lebar dengan salahseorang dosen luar biasa tempat dimana saya menuntaskan studi strata pertama.



At least, pertimbangan saya tegas untuk tidak melanjutkan perjuangan meraih impian 'STUDY ABROAD BEFORE 25th' dengan kesadaran dan kesyukuran yang penuh pula, bahwa setidaknya makna Study Abroad before 25th telah tergapai meski hanya sekedar mencicipi. Atmosfer belajar dan menjadi mahasiswi internasional di Negara impian telah ku raih, meski bukan untuk studi strata dua; alasannya: mungkin klasik untuk sebagian orang yang mendambakan nikah muda, namun tak berlaku untuk saya. Tak sesederhana yang orang-orang sangkakan. Pun rasa-rasanya, tak tepat lagi dikatakan menikah di usia muda, sebab usia saya tepat terhitung seperempat abad saat menikah. Prosesnya panjang, pernikahan saya tak sesimple kisah orang-orang pada umumnya yang berkenalan di sosial media lalu diajak nikah, atau dikenalkan teman lalu merasa cocok dan nikah. Ini sedikit ruwet, tapi saya menganggap ini adalah pilihan tepat yang Allah gariskan.



Saya mengenal seseorang sejak 2012 sebagai mahasiswa baru di kampus yang sama, sekelas pula. Sela setahun setelahnya, 2013 memasuki 2014 pengenalan kami naik level, awalnya hanya sekedar bertukar pikir, pelan-pelan mengutarakan rasa. Sebentar saja, tak memuncak dan tak berlangsung lama, terlebih disebut kasmaran. Sempat menggemparkan, termasuk fakta yang tak disangkakan bagi sebagian orang (terkhusus teman kelas, seorang sahabat yang pernah mengaku suka namun terkhianati karena perempuan picik yang membiarkan rasanya tumbuh dalam kepuraan).


Saya menyebut ini skenario Allah yang tak tertebak, seseorang yang menaruh perasaan begitu baik dan berhasil membuat saya jatuh ibah, pun saya mengaku; sempat memberi kesempatan. Tak pacaran, tak juga berkomitmen. Namun dibiarkan tumbuh begitu saja. Tentu ini tak bertahan lama, sontak saya mengambil langkah dan mengutarakan kejujuran. Mengapa? Membiarkan rasa sedang tak mengharapkan ia tumbuh dan semakin besar?

Saya tarik nafas dalam-dalam, tentu ini akan pahit namun akan berbuah manis jika kita sanggup menjadi bijak dengan memaafkan keputusan kita yang telah lalu. Salahnya adalah mengikutkan pemeran pembantu diantara adegan yang harusnya kita perankan sendiri. Byaaaarrr! Saya pasrah, pemeran lain membabi buta.


Tarikan nafas saya semakin dalam, juga elusan dada berputar-putar menjadi obat tersendiri menghadapi kenyataan ini. Saya pasrah, saya paham benar bahwa masalah dua pihak tak akan bijak dihadapi jika ada campur tangan oranglain di dalamnya. Namun siapa yang bisa mengendalikan mulut oranglain untuk diam dan berputar-putar pada pusaran gelap sendiri? Ia butuh oranglain untuk menumpahkan segala emosi, kekesalan dan kekecewaan. Itu pilihan.

Imbasnya, saya seperti asing diantara orang-orang yang awalnya mengenalkan dirinya sendiri. Tak apa, ini jenis hukuman sosial yang harus disyukuri. Dari sini saya belajar banyak menjadi pribadi yang lebih kuat mentalnya dan mantap logikanya. Lebih berani melangkah dan mengambil keputusan sendiri. Tak peduli cibiran orang, sebab adakalanya jurus katak tuli dibutuhkan untuk meloncat ke puncak lebih tinggi. Tentu, selama itikad kita tetap baik. Juga, sebuah kesyukuran menyadari lebih awal, sikapnya yang mengikutkan oranglain dalam masalah adalah tindakan yang paling dibenci seorang wanita macam saya. Terlebih setelah mendapati kenyataan, kedekatannya dengan teman kelas yang saat itu statusnya sama, teman kelas. Terlalu cepat untuk seseorang yang mengaku sangat menyukai, namun berani mengumbar kedekatan dengan lain hati dalam hitungan hari. Kurang dari 30 hari. Segitu detail saya memperhatikan? Cemburu? Tak terima? Wah.. itu tuduhan lagi. Padahal ini pun jelas, skenario Tuhan yang juga digariskan.


Pelan-pelan keyakinan saya akan rasa pada seseorang yang hati saya pilih semakin kuat, meski tak pacaran dan harus berjarak dan menuntaskan apa yang Tuhan sodorkan. Lolos di Perguruan Tinggi Kedinasan, jauh lebih menjanjikan untuk tipikal mahasiswa yang kuliah pulang - kuliah pulang saja. Membosankan bukan? Sempat tak sepakat, ingin ia tetap di Jurusan yang sama dan menuntaskan studi sama-sama, namun apa hak saya melarang langkah oranglain, sedang saya bukan siapa-siapa. Memang benar, Tuhan tunjukkan jalan rezekinya yang jauh lebih baik. Sebuah kesyukuran tersendiri, mendapati pengakuan bahwa ia menyukai, itu lebih dari cukup  bagi seorang wanita macam saya, yang sejujurnya saya pun sama mendambakannya.


Semenjak itu, gumam saya semakin mengada-ngada dalam hati 'longdistance means nothing when someone means everything' sebab jarak yang memberi ruang untuk kita berjuang menjadi lebih baik dengan cara kita dan jalur kita masing-masing. Yang terpenting dan yang kita butuhkan adalah mengolah rasa lewat jarak yang dibentangkan dan doa yang dilangitkan. Sempat sedikit goyah, tapi tak benar-benar goyah. Mungkin ini yang disebut lelah dalam penantian, sedang banyak pilihan yang disodorkan. Barulah dua tahun berikutnya, di 2016 tepat  sebulan sebelum keberangkatan saya ke Austria, Ayah terengah-engah karena kehadiran orangtua calon. Sempat tak percaya, langkah yang kami ambil terkesan kurang tepat, namun niatan yang baik tentu saja akan mendapati respon positif. Ayah begitu menghargai penuh itikad kedatangan sang calon, mengajak diskusi meski tak berjanji untuk segera menikahi. Setidaknya, ini awal penegasan, seseorang tak mengajak pacaran, namun mengajak berjuang sama-sama. Kebetulan, saat itu saya sedang ditimpa kegalauan, sedang memperjuangkan impian menuntaskan studi strata dua dulu sebelum memulai perjuangan-perjuangan baru. Pun demikian dengan sang calon, juga sedang berjuang di tanah rantau (penempatan kerja sembari berjuang lolos studi lanjut). Kami sepakat, mengejar impian masing-masing dan menuntaskan pilihan kita adalah jalan yang tepat untuk menambah durasi, jatah memperbaiki diri hingga akhirnya Tuhan persatukan dengan ikatan halal.



Sepulang dari romantic city, perjuangan studi dalam negeri pun kami mulai (prosesnya nikmat meski kenyataannya membutuhkan keyakinan dan energi ekstra). Memilih langkah yang tak biasa dengan kuliah sambil bekerja, terlebih rentetan niat baik yang sama datang dan silih berganti. Disini puncak fitnah bertebaran dimana-mana, mulai dari niat baik orang yang pelan-pelan diundur karena alasan sedang dalam penantian, tak hanya sekali, dua atau bahkan ketiga kali. Namun lebih dari itu (tentu yang bisa saya lakukan adalah memperbanyak istigfar dan memperbaiki kembali niat.) Saya pun tak bisa memaksakan diri untuk menerima dengan mudah niatan baik orang baru, sedang kita telah sepakat untuk sama-sama menikmati proses studi sebagai jalan kesabaran dan memperbaiki diri.


Meski bagaimanapun saya sadar penuh, tentu saja ini adalah pilihan sulit dan tak semua berani mengambilnya. Lalu menyikapinya dengan kesyukuran yang luar biasa. Banyak kesempatan yang Allah sodorkan saat itu, pintu rezeki yang Allah bukakan pun dari segala penjuru, seperti bertubi-tubi dan tinggal saya yang pandai-pandai menentukan prioritas (tak terlepas dari apa yang berkah). Menjadi translator, author, editor, tim peneliti dan ajakan mengajar kesana-kemari, juga kesempatan mengajar di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), sedang saya sendiri belum menyandang gelar magister saat itu (statusnya masih sedang diperjuangkan). Namun saya harus yakin dan percaya diri, sebab kepercayaan orang terhadap saya adalah amanah Allah yang harusnya menumbuhkan kepercayaan diri saya sendiri.


2018 adalah masa-masa paling ruwet, studi akhir saya tak begitu sederhana untuk pilihan tugas akhir penelitian level S2, sebab jenis penilitian ini adalah tingkatan penelitian doktoral. Menurut sebagian orang (saya adalah tipikal yang idealis), mengambil langkah yang rumit sedang banyak pilihan mudah. Studi itu harusnya tuntas cepat, tak harus dengan penelitian yang menyulitkan, katanya. Tapi dasar saya yang keras kepala, akhirnya kecebur juga. Namun saya tak pernah menyesali apapun keputusan yang telah saya pilih, sebab yang bertanggungjawab atas diri saya adalah diri saya sendiri, pun yang paham batas kemapuan saya adalah saya sendiri. Yang terpenting adalah tetap fokus pada pilihan dan menuntaskan sesuai aturan. Penelitian yang berjudul 'Developing English Communicative Competence Material for Hospitality at Vocational School' ternyata memakan waktu yang tak sedikit dan energi yang tak biasa. Malam, pagi, siang.. tak ada bedanya, waktu benar-benar diporsir untuk menuntaskan studi yang menantang. Belajar sambil meneliti, dua tugas yang sama-sama penting dan harus beriring. Disini, saya semakin banyak belajar untuk mengatur skala prioritas.



Ujian proposal serasa ujian meja kala itu. Terlebih ketika salahseorang Professor penguji menyarankan untuk mengubah judul penelitian dengan saran penelitian deskriptif. Jelas, menggemparkan suasana ujian, terlebih audience yang ikut memanas dan ikut tegang. Padahal kenyataannya, saya baik-baik saja. Saya bersihtegas karena saya sedang memperjuangkan niat baik saya dalam menuntaskan studi dengan pilihan yang tak biasa, itu saja. Bismillah... atas izin Allah, ujian berakhir dan mendapati respon positif dari penguji-penguji lain yang bahkan adalah professor di Bidang yang sedang saya geluti. Ini semakin menantang dan mendorong semangat saya untuk menuntaskan penelitian yang dibalut ketidakpercayaan orang-orang, mampu menutaskannya dalam kurung waktu kurang dari prasangkaannya.

Selepas ujian proposal, dan rentetan proses administrasi yang banyak menyita waktu. Akhirnya, sampai juga di tahap meneliti dan ujian hasil. Entah mengapa, ujian hasil serasa begitu enteng dari ujian proposal sebelumnya, mungkin karena hasilnya sudah terlihat ataukah karena memang penguji saat itu sedang bersahabat? Entahlah, tapi yang saya pahami adalah dosen penguji di ujian hasil saya adalah dosen profesional di bidang penilitian yang saya geluti. Mestinya, ini mengerikan dan menjadi momok tersendiri. Nyatanya, saya semakin enteng dan semakin percaya diri mempresentasikan tugas akhir saya kali ini. MasyaAllah respon dan hasil penelitian saya berterima dengan baik, dengan nilai diatas espektasi. Mungkin yang baru saja terjadi adalah the power of keyakinan dan kepercayaan diri. Alhamdulillah.



Ujian tutup pun semakin enteng, yang sulit dan sangat berkesan di tugas akhir ini lebih pada administrasi kampus yang serba ruwet, mungkin pembaca takkan percaya bahwa kian kali mengurus administrasi, kian kali juga saya menitihkan air mata. Sedih saja melihat sistem yang ada, mengapa begitu sulit, mengapa harus mempersulit sesuatu yang harusnya mudah saja? Hal yang bisa diselesaikan dalam sehari mengapa harus menunggu berminggu-minggu? Ya Allah.. seruwet inikah sistem pendidikan hari ini. Meminta tanda tangan Asisten Direktur saja harus menunggu berminggu-minggu. Apa kabar jika saya harus menemui 3 Asisten yang sama-sama tak kalah penting kedudukannya. Sedih.

Untungnya, semua bisa teratasi dengan baik. Hingga titik puncak sibuk-sibuknya, saat dua hal baik Tuhan hadapkan 'mengurus wisuda dan mengurus pernikahan'. Disini titik puncak masa sulit, tersulit sepanjang perjalanan hidup seorang Ige. Sama-sama memperjuangkan hal baik, namun ada-ada saja yang menilai lirih. Dari sekian kisah menyedihkan dan paling miris dalam proses menuju halal dan menuntaskan studi saya adalah 'cerita miring yang berhasil menguasai akal sehat orang-orang, di Kepalanya saya yang baru saja wisuda (kurang dari 2 minggu) sudah di pelaminan. jangan-jangan kecelakaan!!
Ini sama sekali bukan buru-buru, seperti yang disangkakan orang pada keputusan kami. Menyegerakan, bukan berarti buru-buru. Ya lord, pandangan sebelah mata seperti memutar kenyataan yang ada. Wajar saja jika terbilang cepat dan menentukan tanggal seakan sepihak. Sebagai abdi pemerintah yang mewakafkan sebagian waktu untuk negara, bahkan sang calon harus merelakan hari wisudanya diatas pelaminan meski tetap menuai tanggapan negatif orang-orang.


Ya lord, inikah makna dari musuh terbesar adalah Syaiton? Jenis kebaikan yang diperjuangkan pun tetap dinilai sebelah mata dan digunjang-ganjingkan. Meski di saat-saat sulit seperti ini, semakin parah suguhan cerita miring merajalela dan mengerikan.
Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in
Ya Robb.. hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Ampunkanlah siapa saja yang berhasil dikuasai hati dan pikirannya oleh roh-roh jahat. Terlebih hambamu ini yang tak luput akan salah dan dosa-dosa, lalai dan tak mampu meluruskan persepsi tiap pandangan yang merapuhkan. Kembalikan kami pada jalan kebaikanmu. Aamiin aamiin ya Robbal aalamiin.

Maafkan jenis-jenis penilaian yang seringkali lirih. Lupakan perspektif-perspektif yang mengekang dan takkan ada habisnya. Pandangan manusia seringkali menuai keliru sedang Allah yang maha tahu. Biarlah kekeliruan orang-orang terhadap kita menjadi urusannya dengan Tuhannya. Kita tak punya hak menghakiminya, terlebih menganggap diri jauh lebih baik darinya.


Kembalikan semua pada yang menimpakan, sebab bersamanya.. masalah dan solusi telah ia paketkan. Cukup naikkan level kesabaranmu, gelar sajadahmu, khusyukkan sujudmu dan tengadahkan tanganmu seraya lurus niat dan doamu.

Fokuskan penilaian. Kita adalah penilaian Tuhan, ia yang menciptakan. Jangan alihkan pada manusia, ia hanya ciptaan. Penilaian manusia seringkali, bahkan sangat sedikit menuai kebaikan, selebihnya adalah keliru. Pun berharap penilaian baik takkan membuat kita benar-benar baik, berharap kita dinilai benar takkan membuat kita sungguh telah benar. Sejatinya, saat kita benar bukan berarti oranglain telah salah. Begitupun jika oranglain telah benar, yang kita lakukakan tak berarti sepenuhnya salah.

Memang benar, ini memang masa-masa tersulit, namun kado terindah yang Tuhan berikan di tahun yang sama. Memperjuangkan gelar S-two (Magister Bahasa Inggris) dan S-Tri (pendamping hidup seorang lelaki). Pilihan saya InsyaAllah telah benar, berjuang dalam doa, dan mengharap Tuhan menyatukan kita. Melupakan mimpi yang tak berkesudahan, sebab yang saya ilhami saat ini adalah 'study abroad its not everything when someone means everything'. Meski pada kenyataannya kesungguhan sebenarnya adalah memenuhi ibadah panjang sekaligus memutuskan tali fitnah yang tak berkesudahan. Melawan ego dan rasa tak nyaman tiap kali dihadapkan ajakan baik sedang suguhan yang serupa telah lama hadir hanya saja harus tertunda, seperti diterpa cobaan silih berganti rasanya. Mungkin akan banyak yang tak percaya, saya pernah diakui sebagai kekasih sedang saya sendiri tak pernah tahu paras wajahnya. Wajar saja, setuntasnya studi magister dalam negeri, saya tak muluk-muluk dan mengindahkan niatan baik orang yang memang telah lama menanti. Tak peduli dianggap begitu cepat, karena yang sebenarnya adalah menyegerakan bukan buru-buru. Mimpi yang ku pupuk untuk kuliah di benua biru memang pernah menjadi satu diantara mimpi yang ingin ku buktikan, sebagai bagian dari janji Allah atas kesungguhan. Jika kita yakin, akan selalu ada jalan. Bedanya, saya telah mengubah haluan, sebab perspektif saya akan kenikmatan makna mengais ilmu, telah berubah seketika setelah merasakan atmosfer belajar yang saya impikan. Memang benar-benar menantang, namun bukankah belajar adalah ibadah? Sedang keberkahan belajar hanya kita dapat dari sebuah kesungguhan. Disini saya menarik kesimpulan, belajar tak menuntut kita membentang jarak, melangkah lebih jauh. Namun, belajar adalah memaknai sebuah kesungguhan. Sungguh-sungguh menetapkan niat dan menentukan tujuan, sungguh-sungguh mencari tahu kebenaran akan ilmu, sungguh-sungguh mengolah kebsahan ilmu dan sungguh-sungguh memetik buah keberkahan dari ilmu. Kemanapun langkah kita, siapapun yang kita temui, dan jenis anggapan apapun, termasuk menilai lirih (mengapa putus asa menuntut ilmu), maka maafkan saya yang mengecewakan harapan besar anda terhadap saya. Sebab yang menilai langkah saya bodoh dengan berhenti berjuang tentu saja tak sepenuhnya benar, sebab perjuangan telah saya mulai di tempat yang berbeda dan perhitungan serta pertimbangan yang matang. Menuntaskan studi sesuai batas perkiraan, juga menunaikan ibadah panjang tentu telah Allah hadiahkan diwaktu yang seharusnya.


Alhamdulillah.. alhamdulillah... pun mengingat perjuangan-perjuangan yang lalu saja, serasa haru biru. Studi strata dua telah saya tuntaskan dengan pilihan langkah yang benar-benar menakjubkan. Sepaket dengan hadiah yang tak pernah saya sangkakan, meski pada kenyataannya 'selalu ku iyangkan dalam doa'...
Qadarullaah Wa Ma Sya’a Fa’al. Allaahumma Baarik Lahum Fiimaa Razaqtahum, Waghfirlahum Warhamhum.

 May Allah always bless us.
Aamiin aamiin yaa Robbal aalamiin.

Komentar

Chindy Christine mengatakan…
What a great and inspiring story of life, kak Ige.
I am so lucky that I got the chance to know you.

Thank you for letting me know about your blog in my https://chindycerita.com/ blog. 😊
IGE NAYA mengatakan…
A warm regard and hug from Kaka Ige.. Lemme know if you are in Jakarta ya! I am staying here now.
Kifli Keple Empie mengatakan…
Alhamdulillah....
Sangat menginspirasi, saya belajar banyak.

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Baik

  Memilih milih teman itu boleh. Yang ngga boleh itu, memilih milih berbuat baik ke orang. Kenapa? Karena karaktermu bergantung dengan siapa lingkunganmu. Kalau bergaul dengan orang yang ngga bener, ya kecipratan juga ngga benernya. Kecuali kalau kamu udah bisa mastiin orang disekitarmu adalah orang yang baik. Dan akan memberi pengaruh baik. Atau, kamu udah bener-bener baik untuk menjadi orang yang berpengaruh baik di lingkunganmu. But, who knows? Kita manusia biasa, banyak khilafnya. Jadi, perlu ada batasan. Jangan semua dijadiin temen. Maaf. Saya berani bilang gini karena pengalaman yang mengajarkan. Bahwa ngga semua orang adalah baik dan memberi pengaruh baik untuk kita.  Jadi fokus saja berbuat baik semampunya, dan menjadi lebih baiklah dari hari hari sebelumnya.

Menikah Itu tentang Sebuah Keyakinan!

Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaykum warohmatullahi wabarokatuh. Pembaca. Semoga tulisan ini mendapati kita dalam keadaan baik, niat yang baik dan harapan-harapan hidup yang baik. Kodratnya, kita adalah pendosa dan tak ada satupun yang benar-benar baik diantara kita. Kalaupun ada diantara kita yang terlihat baik, maka yang terlihat hanyalah sebatas usaha kita menjadi lebih baik, bertaubat pada-Nya. Jadi, mari menjadi baik tanpa menganggap diri jauh lebih baik. Yang salah adalah jika kita tak pernah berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ini, terus berkutat pada anggapan yang sama 'langkahku adalah jauh lebih baik' sebab anggapan inilah yang pada akhirnya menyeret kita yang telah baik malah kembali pada cerminan tak baik. Jika kita pernah dibuat terluka oleh satu sayatan, maka biarkan sayatan demi sayatan berikutnya menutupi rasa sakit yang kita tanggung sendiri, seperti itulah pengaruh pikiran membawa kita pada alam di bawah sadar. Belajar untuk memaafkan dan terus m...

Tak Perlu Ada Iri Diantara Kita

  Hal yang paling melekat dalam diri manusia dan tak bisa lepas adalah rasa ingin lebih atau rasa tak puas diri. Sebenarnya hal ini bisa saja positif, namun tak banyak yang sanggup mengontrol ini dengan baik. Karena sejatinya, merasa puas itu tak baik jika porsinya terlalu. Mengapa? karena terlalu cepat puas menghadirkan energi negatif bagi diri sendiri; (1) merasa terlena dan tak ingin lagi melakukan hal lain, jatohnya malas, (2) menjadi bangga diri, memuji diri, besar kepala dan sedikit saja akan menampakkan kesombongan (3) tertinggal langkah yang lain, hingga usaha kita banyak terlampaui oranglain yang pada akhirnya melahirkan rasa iri di dalam hati (4) Menutup kesempatan untuk lebih mengembangkan potensi diri, sebab merasa cukup bisa saja membuat kita tidak bisa merambah ke bidang yang lain. N audzubillah mindzalik. Meski kita pun sama-sama paham bahwa rasa puas pun dibutuhkan untuk mengucap syukur atas apa yang Allah beri, pun bagian dari usaha berterima kasih p...